ANALISIS DAMPAK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ZEROOVER DIMENSION OVER LOAD (ODOL) TERHADAP
HARGA BARANG KEBUTUHAN POKOK DAN BARANG PENTING
Pada
2017, Kementerian Perhubungan mencanangkan rencana pelaksanaan kebijakan bebas kelebihan
muat dan kelebihan dimensi untuk Kendaraan angkutan barang atau yang dikenal
dengan Zero Over Dimension Over Load (ODOL). Rencana menjadikan
Indonesia bebas dari pelanggaran ODOL oleh kendaraan angkutan barang dilakukan
akibat adanya laporan tingginya persentase pelanggaran ODOL terhadap jumlah
kendaraan yang masuk dan diawasi oleh Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan
Bermotor (UPPKB), pelanggaran ini juga menyebabkan tingginya biaya yang
digunakan oleh pemerintah dalam pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur jalan
akibat kerusakan jalan hingga menelan biaya lebih dari Rp 43 triliun di tahun
2018.
Dalam
pelaksanaannya, kebijakan Zero ODOL dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antar
Kementerian yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, Kementerian
Perindustrian, Kementerian BUMN, Kepolisian Republik Indonesia, dan Asosiasi
Industri, yang pada tanggal 24 Februari 2020 menyepakati bahwa:
a.Kebijakan
Zero ODOL mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023.
b.Kebijakan
mulai berlaku di ruas jalan tol Pelabuhan Tanjung Priok hingga Bandung per
tanggal 1 Maret 2020.
c.Pelarangan
kendaraan ODOL di Pelabuhan Penyeberangan dengan pemberian tilang berlaku sejak
1 Februari 2020 dan pelarangan kendaraan ODOL naik ke atas kapal penyeberangan
berlaku sejak 1 Mei 2020.
d.Toleransi kelebihan muatan
kendaraan angkutan barang untuk barang kebutuhan pokok yang dimulai dari
toleransi kelebihan muatan 50% dan barang penting yang dimulai dari toleransi
kelebihan muatan 40% yang mulai berlaku pada 9 Maret 2020 dan toleransi yang dikurangi
secara bertahap setiap tahunnya sampai dengan toleransi kelebihan muatan
sebesar 5% di tahun 2023. Bagi kendaraan yang melanggar harus melakukan
transfer muatan atau dilarang meneruskan perjalanan.
Terkait tupoksi Kementerian
Perdagangan untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga
barang kebutuhan pokok dan
barang penting, maka analisis ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran
dampak kebijakan Zero ODOL terhadap pelaku usaha dan harga barang kebutuhan
pokok dan barang penting, serta dapat memberikan solusi dan rekomendasi agar
dampak yang ditimbulkan tetap mendukung distribusi barang.
Analisis dilakukan melalui pendekatan
kualitatif-kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui pelaksanaan
studi literatur, wawancara dan diskusi terbatas dengan stakeholder yang
bertujuan melihat dampak kebijakan terhadap pelaku usaha dan proses distribusi
barang. Sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk melihat dampak pada
perubahan harga barang dengan pertimbangan pola distribusi, pelaksanaan
pengangkutan sebelum dan sesudah pelaksanaan toleransi Zero ODOL, serta biaya
distribusi berdasarkan jenis kendaraan dan jarak distribusi. Analisis
kuantitatif dilakukan pada barang kebutuhan pokok dan barang penting seperti
yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020.
Hasil
analisis menunjukkan bahwa pelanggaran ODOL terjadi akibat: 1) motivasi pemilik
barang menekan biaya transportasi; 2) persaingan antara penyedia transportasi
untuk memperoleh pelanggan dan menekan biaya operasional; 3) rendahnya law
enforcement; 4) kondisi jalan menuju dan dari lokasi gudang tidak sesuai dengan
aturan kelas jalan; dan 5) sulitnya melakukan kontrol secara administrasi
dengan menggunakan KIR.
Berdasarkan
dampaknya, kebijakan Zero ODOL memberikan dampak positif yaitu:
1.Kualitas
produk lebih terjamin (terutama produk hortikultura) karena manajemen tata
susun barang saat pengangkutan semakin baik misalnya berkurangnya tumpukan pada
saat distribusi.
2.Turunnya
biaya pemeliharaan infrastruktur jalan dan jembatan.
3.Umur
kendaraan lebih Panjang dan biaya pemeliharaan kendaraan angkutan barang
mengalami penurunan.
4.Peningkatan
jumlah permintaan kendaraan dan karoseri karena adanya penyesuaian dalam
frekuensi pengangkutan barang.
Selain
dampak positif, ada pula dampak negatif yang mungkin terjadi, seperti:
1.Peningkatan
jumlah armada akan meningkatkan kebutuhan SDM pengemudi baru yang secara khusus
paham mengenai kendaraan muatan. Namun demikian, menurut keterangan
transporter, ketersediaan pengemudi yang mempunyai keahlian yang sesuai sangat
terbatas.
2.Peningkatan
jumlah armada berpotensi meningkatkan investasi baru untuk perluasan lahan
parkir di tempat muat dan bongkar. Jika perluasan tidak dilakukan, maka
berpotensi menimbulkan kemacetan baik di lokasi bongkar muat, di jalan raya,
maupun stasiun penimbangan.
3.Peningkatan harga komoditi
barang kebutuhan pokok dan barang penting akibat peningkatan biaya
transportasi. Pada toleransi muatan 0% potensi peningkatan harga barang
kebutuhan pokok antara 0,27% dan 3,08%, sedangkan pada barang penting antara
0,54% hingga 7,5%. Kondisi ini berdampak pada potensi inflasi, dimana toleransi
0% berpotensi inflasi tinggi pada barang kebutuhan pokok, dan toleransi 40%
berpotensi memberikan inflasi yang tinggi pada barang penting.
Berdasarkan
hasil analisis tersebut, maka direkomendasikan hal sebagai berikut:
1.Perlu
adanya toleransi ODOL untuk beras, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih,
gula pasir dan minyak goreng sebesar 5% pada tahun 2023 dan seterusnya. Selain
itu, perlu ada toleransi ODOL untuk pupuk sebesar 40% pada tahun 2023 dan
seterusnya. Catatan: saat ini sampai dengan akhir 2022, Kementerian Perhubungan
masih memberikan toleransi ODOL sebesar 40% - 5% untuk barang pokok dan barang
penting.
2.Subsidi
transportasi untuk barang kebutuhan pokok dan barang penting ketika
diberlakukan kebijakan Zero ODOL.
3.Memperpendek rantai
distribusi untuk meminimalisir peningkatan harga akibat biaya transportasi.