ANALISIS
DAMPAK KENAIKAN CUKAI TEMBAKAU TERHADAP INDUSTRI
DAN
PETANI TEMBAKAU
Cukai merupakan instrumen pajak yang ditujukan
untuk mengkompensasi/mengurangi eksternalitas negatif suatu produk. Dalam hal
cukai rokok, maka pajak tersebut ditujukan untuk mengurangi/menekan konsumsi
sehingga dapat eksternalitas negatif dari rokok yang dikonsumsi oleh rumah
tangga. Cukai termasuk instrumen pajak tidak langsung, yaitu pajak yang
pembayarannya dapat dibebankan kepada pihak lainnya. Dalam hal cukai rokok,
maka pihak yang membayarkan cukai kepada pemerintah adalah produsen, namun
beban pajak akan disalurkan ke konsumen akhir melalui harga jual barang.
Dikarenakan termasuk instrumen pajak tidak langsung, makai cukai mempunyai
karakteristik yaitu yaitu melekat ke komoditas/sektor tertentu. Keunggulan
pajak jenis ini yaitu dapat diarahkan/menyasar komoditas tertentu, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk menekan/ meningkatkan konsumsi komoditas tertentu.
Namun demikian, cukai ini memiliki Kelemahan dimana setiap orang harus membayar
jumlah pajak yang sama untuk setiap komoditas yang dikonsumsi. Ketika Seseorang
membeli satu bungkus rokok, maka jumlah pajak yang dibayar akan sama, tidak
peduli si pembeli tersebut orang kaya atau miskin. Dampaknya, pajak ini
berdampak buruk bagi distribusi pendapatan.
Meskipun tujuan utama cukai rokok, adalah
untuk mengurangi eksternalitas negatif akibat rokok, namun demikian tidak
dipungkiri bahwa cukai juga berkontribusi banyak dalam struktur penerimaan
APBN, dan hal tersebut sudah berlangsung sejak lama. Kontribusi cukai terhadap
total penerimaan APBN mencapai 3,9% pada 1980 dan meningkat menjadi 9% pada
2017. Pada tahun 2017 nilai cukai rokok yang dikumpulkan oleh pemerintah
mencapai Rp 157,2 Trilyun.
Dari sisi efektifitasnya, peran cukai dalam
menekan konsumsi rokok masih menjadi pertanyaan sampai dengan saat ini. Hampir
setiap tahun pemerintah selalu menaikkan tarif cukai rokok, namun demikian
konsumsi rokok masih meningkat. Hal ini terlihat sebagaimana tabel berikut yang
menunjukkan bahwa produksi rokok sejak 2011 hingga 2014 terus meningkat.
Penerapan cukai mulai menurunkan produksi sejak tahun 2014 hingga 2017 dimana
produksi turun dengan laju penurunan 1,53 persen yakni pada tahun 2014 sebesar
352 miliar batang menjadi 336,2 miliar batang pada tahun 2017.
Selain itu, penerapan cukai juga telah
mengakibatkan menurunnya jumlah perusahaan/pabrik rokok. Jumlah perusahaan
rokok/sigaret secara nasional pada tahun 2011 tercatat sebanyak 2.540 unit
sedangkan di wilayah Jawa Timur sebanyak 1.300 unit (sekitar 60 persen). Jumlah
ini terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun dengan laju penurunan
(2011-2017) sebesar 20 persen. Pada PMK Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif
Cukai Hasil Tembakau,ditetapkan besaran serta roadmap penyederhanaan
(simplifikasi) tarif cukai tembakau. Berdasarkan roadmap, akan terjadi
perubahan layer secara bertahap yakni 2017 (12 layer); 2018 (10 layer); 2019 (8
layer); 2020 (6 layer); dan 2021 (5 layer). Kebijakan simplifikasi cukai ini
dinilai pengusaha rokok dan berbagai pihak akan berdampak pada menurunnya
eksistensi sigaret jenis kretek yang merupakan produk khas Indonesia dengan
pangsa pasar lebih dari 70 persen. Selain itu, aturan tersebut dinilai akan
menguntungkan perusahaan tertentu yang memproduksi sigaret jenis SPM. Implikasi
aturan tersebut dinilai perusahaan rokok akan berdampak pada menurunnya daya
saing produk yang dihasilkan oleh industri skala kecil dan menegah karena
mengalami kenaikan cukai mengikuti besaran tarif skala industri di atasnya.
Selain itu, peraturan tersebut akan berimplikasi pada penyamaan kategori untuk
jenis SKM
dan SPM sehingga besaran tarif cukai jenis SKM
akan mengikuti besaran tarif cukai jenis SPM. Selain itu, ketika terjadi
kenaikan tarif cukai, perusahaan rokok tidak akan serta merta menaikan harga
jual rokok karena persaingan yang sangat kompetitif. Pada jangka panjang,
menurunnya jumlah pabrik rokok skala kecil akan menyebabkan struktur pasar
rokok/sigaret menjadi oligopoli karena banyak didominasi oleh perusahaan
multinasional. Hal ini akan merugikan produsen tembakau domestik karena
perusahaan asing/multinasionalsebagian besar menggunakan bahan baku impor dan
sebagian proses produksinya berada di luar Indonesia. Dasar hukum pengenaan
cukai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dengan mempertimbangkan
aspek kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.Total
penerimaan negara dari cukai tembakau pada tahun 2017 tercatat mencapai
Rp.147,7 triliun atau sekitar 8,5 persen dari total penerimaan negara.
Pada prinsipnya asosiasi maupun perusahaan
sigaret tidak berkeberatan dengan adanya kenaikan tariff cukai tembakau
meskipun mereka menilai bahwa kenaikan tariff cukai akan berpotensi
meningkatkan perdagangan rokok ilegal. Di daerah, marak terjadi perdagangan
rokok ilegal dengan menggunakan cukai palsu, cukai bekas, cukai bodong (tanpa
pita), cukai bukan untuk peruntukan (mis: cukai kretek tangan digunakan untuk
kretek mesin), dan cukai bukan haknya (perjualbelian cukai oleh perusahaan satu
ke perusahaan lain). Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) di wilayah
Jombang dan Lamongan menganggap bahwa kenaikan cukai dikhawatirkan akan
mengakibatkan penurunan/penundaan pembelian tembakau oleh pabrikan rokok skala
kecil dan menengah, sementara untuk pabrikan skala besar tidak otomatis
menurunkan pembelian tembakau petani karena mereka memiliki stock management
untuk bahan baku hingga persediaan 5 tahun ke depan. Selain itu, kenaikan cukai
juga akan menekan harga tembakau di tingkat petani sehingga pada jangka panjang
akan menyebabkan disinsentif bagi petani untuk menanam tembakau. Hal ini pada
akhirnya akan membuat industri lebih memilih bahan baku tembakau dari impor
dengan harga yang lebih murah. APTI juga memintabantuan pemerintah agar dibuatkan
aturan(payung hukum) yang dapat memberi kepastian bagi para petani terkait
kontrak kerjasama dengan perusahaan/pabrik rokok sehingga petani tidak
dirugikan. Terkait kebijakan Permendag No.84 tahun 2017 mengenai ketentuan
Impor Tembakau dan RUU Pertembakauan, perusahaan rokok menilai bahwa kebutuhan
perusahaan rokok untuk impor tembakau jenis varietas tertentu (Virginia) saat
ini telah lebih dari 30 persen karena komposisi tembakau impor sebagai bahan
baku pabrikan bisa mencapai 30 hingga 60 persen. Pembatasan kuota impor
tembakau maksimal sebesar 20 persen menyebabkan perusahaan kesulitan
mendapatkan bahan baku karena pasokan dalam negeri untuk jenis/varietas
tersebut (Virginia) masih belum mencukupi. Merespon hal tersebut, APTI
menganggap perlu adanya pembinaan terhadap petani dalam rangka pengembangan
varietas Virginia baik dari sisi pola tanam maupun penanganan dan pengolahan
pasca panennya.
Kenaikan cukai tembakau secara empiris telah
mengakibatkan menurunnya jumlah industri/perusahaan sigaret skala kecil dan
menengah. Hal ini karena dampak yang dirasakan oleh pabrik kecil jauh lebih
besar jika dibandingkan dampak terhadap pabrik besar. Kebijakan simplifikasi
tarif cukai dianggap merugikan pabrik rokok karena akan berdampak pada
menurunnya daya saing industri skala kecil menegah khususnya sigaret jenis
kretek. Pada intinya perusahaan sigaret tidak berkeberatan dengan adanya
kenaikan tarif cukai. Namun demikian, dampak utama yang paling dirasakan akibat
kenaikan cukai tembakau adalah menurunnya GDP (Rp. 52,3 triliun) dan jumlah
tenaga kerja. Oleh karena itu kenaikan tarif cukai tembakau dapat
dipertimbangkan kembali mengingat industri rokok masih menjadi salah satu
sektor yang banyak menyerap tenaga kerja serta sumber utama bagi penerimaan
negara melalui cukai tembakau. Kebijakan simplifikasi tarif cukai sebagaimana
tertuang dalam PMK No.146 Tahun 2017 seharusnya memperhatikan aspek keadilan
yang berimbang dengan memperhatikan skala industri, industri milik dalam
negeri, serta bobot (volume pangsa pasar) dari masing-masing jenis sigaret yang
dijual di pasar.
Berdasarkan hasil kesimpulan, maka
direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1.Perlu ditinjau
kembali roadmap penyederhanaan (simplifikasi) sebagaimana tertuang dalam PMK
No146/2017 dengan memperhatikan kepentingan industri dalam negeri terutama
skala kecil dan menengah.
2.Perlu adanya
upaya melindungi petani tembakau melalui aturan (payung hukum) mengenai
kemitraan antara petani dan pabrikan (perusahaan rokok).
3.Untuk mengatasi
penurunan permintaan/konsumsi sigaret di dalam negeri, Kementerian Perdagangan
melalui perwakilan di luar negeri dapat mengupayakan pasar di luar negeri
terutama di negara-negara yang masih longgar dalam hal kebijakan larangan
merokok seperti Afrika dan Amerika Selatan.
4.Perlu adanya
review terhadap kebijakan Permendag No.84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor
Tembakau terutama mengenai kemungkinan mengubah ketentuan bentuk kuota ke dalam
bentuk kenaikan tarif.
5.Perlu analisis
lebih lanjut yang dapat melihat dampak kenaikan tarif cukai terhadap industri
di masing-masing skala usaha sehingga kebijakan kenaikan tarif cukai yang
diusulkan oleh Kementerian Keuangan bisa lebih berkeadilan dan berimbang