ANALISIS
PENERAPAN STANDAR MINIMAL PRODUK UNTUK USAHA MIKRO DAN KECIL (STUDI KASUS: UMK
MAKANAN OLAHAN)
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) memiliki peran strategis terhadap pertumbuhan perekonomian nasional.
Selama periode waktu lima tahun terakhir, kontribusi sektor UMKM terhadap PDB
terus meningkat dari 57,84% menjadi 60,34%1 . Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56,5 juta dengan total
pekerja mencapai 107 juta orang atau sekitar 97,3% dari total pekerja di
Indonesia2 . Jika dilihat dari sektor unit usahanya, sektor ekonomi UMKM yang
memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan dengan kontribusi sebesar 48,85%. Sementara itu, sektor
perdagangan, hotel dan restoran menempati posisi kedua terbesar dengan
kontribusi sebesar 28,83% (BI & LPPI, 2015). Mengingat pentingnya sektor
UMKM terhadap perkembangan perekonomian nasional, maka upaya untuk terus
mengembangkan sektor UMKM menjadi salah satu program prioritas pemerintah,
termasuk Kementerian Perdagangan. Analisis ini merupakan tindak lanjut dari
Rapat Kerja Kementerian Perdagangan Tahun 2017 yang bertujuan untuk
meningkatkan keberdayaan UMKM melalui penerapan standar minimal untuk produk
UMKM. Standar produk merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh
pemerintah untuk melakukan pengendalian barang beredar di dalam negeri, sesuai
dengan amanat Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Penerapan
standar pada produk UMKM merupakanupaya
untuk meningkatkan daya saing produk UMKM di pasar sehingga UMKM dapat
memperluas akses pasarnya. Selain itu, penerapan standar akan memberikan
jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan atas produk yang dikonsumsi oleh
konsumen.
Pertumbuhan UMKM secara umum,
juga beriringan dengan pertumbuhan UMKM Makanan Olahan. Diantara 56,5 juta unit
usaha UMKM yang ada saat ini, sekitar 70% diantaranya merupakan UMKM Pangan3 .
Namun meskipun demikian, kondisi UMKM saat ini masih belum memadai untuk dapat
bersaing secara optimal dengan industri besar di pasar domestik terlebih di
pasar internasional. Saat ini, standar yang umum berlaku di Indonesia adalah
Standar Nasional Indonesia (SNI), namun SNI terkait produk makanan olahan yang
saat ini berlaku wajib hanya SNI untuk bahan makanan seperti: air minum dalam
kemasan; garam konsumsi beryodium; tepung terigu sebagai bahan makanan, gula
rafinasi, kakao bubuk, minyak goreng sawit, dan kopi instan). Selain itu,
terdapat beberapa persyaratan teknis yang menjadi standar keamanan untuk produk
makanan olahan yang beredar di pasar diantaranya adalah sertifikasi Pangan
Industri Olahan Rumah Tangga (PIRT), sertifikasi Halal, izin edar Badan POM,
dan lainnya. Namun, tidak seluruh standar tersebut dapat diterapkan oleh pelaku
UMKM Makanan Olahan, dikarenakan penerapan standar memerlukan biaya yang tidak
sedikit serta sumber daya yang lebih mumpuni. Oleh karena itu, maka dibutuhkan
sebuah standar minimal yang dapat diterapkan oleh seluruh UMKM agar dapat menjadi
solusi bagi UMKM untuk tetap dapat meningkatkan daya saing produknya, tanpa
mengeluarkan biaya yang besar.
Standar minimal merupakan
standar atau persyaratan teknis minimal yang harus dipenuhi oleh pelaku UMKM,
yakni seperti standar untuk keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi sebuah
produk. Saat ini belum ada kriteria khusus mengenai standar minimal, namun
dapat dirumuskan berdasarkan sebagian parameter dalam SNI. Penetapan standar
minimal akan sangat bermanfaat terutama bagi UMK untuk meningkatkan daya
saingnya, tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar sebagaimana biaya yang
dikeluarkan untuk pengurusan SNI untuk sebuah produk. Oleh karena itu, untuk
menetapkan standar minimal pada produk UMK, perlu adanya analisis mendalam yang
melibatkan pelaku UMK dan pemerintah terkait (BPOM, Kementerian Perindustrian,
dll). Penetapan kriteria standar minimal harus sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan UMK, tanpa mengurangi standar keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi sebuah produk.
I. Isu Kebijakan
1.Standar
produk makanan olahan merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh
pemerintah untuk melakukan pengendalian barang beredar di dalam negeri, sesuai
dengan amanat UndangUndang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Selain itu,
standar produk makanan olahan juga merupakan bentuk upaya untuk meningkatkan
daya saing sekaligus memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen yang
mengkonsumsi barang tersebut.
2.Kontribusi
UMKM terhadap PDB terus meningkat hingga 60,34% dengan pertumbuhan jumlah UMKM
di Indonesia mencapai 56,5 juta usaha, dimana sekitar 70% diantaranya merupakan
UMKM Pangan6 Meskipun demikian, kondisi
UMKM di Indonesia saat ini masih belum memadai untuk dapat bersaing secara
optimal dengan industri besar di pasar domestik terlebih di pasar
internasional.
3.Terkait
dengan hal tersebut, dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan Tahun 2017,
salah satu yang menjadi prioritas kerja pemerintah adalah memberdayakan UMKM
melalui penerapan standar produk minimal.
4.Berdasarkan
hal tersebut, maka perlu dilakukan analisis terkait standar minimal produk
makanan olahan minimal, yang mencakup aspek keamanan pangan, label pangan dan
kemasan pangan, yang perlu dimiliki oleh UMK Makanan Olahan dalam rangka
meningkatkan daya saing serta akses pasar mereka.
II. Analisis Penerapan Standar
Minimal pada Produk UMK Makanan Olahan
1.Terdapat
beberapa standar atau persyaratan teknis yang terkait dengan produk makanan
olahan, yakni Standar Nasional Indonesia (SNI), Sertifikasi Pangan Industri
Rumah Tangga (P-IRT), dan Sertifikasi Halal. SNI untuk pangan hanya diwajibkan
untuk beberapa jenis bahan makanan (air minum dalam kemasan, garam konsumsi
beryodium, tepung terigu sebagai bahan makanan, gula konsumsi dan rafinasi,
kakao bubuk, minyak goreng sawit, dan kopi instan). Sementara itu, sertifikasi
P-IRT diberlakukan wajib untuksemua
produk makanan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga, dan
sertifikasi halal saat ini masih diberlakukan secara sukarela.
2.Sertifikasi
P-IRT merupakan jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota, melalui
Dinas Kesehatan Kabupaten/kota terkait, terhadap pangan produksi yang telah
memenuhi persyaratan teknis pemberian sertifikat P-IRT dalam rangka peredaran
pangan produksi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). Sementara itu, Sertifikat
Halal MUI merupakan sebuah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syari’at Islam.
3.Standar
keamanan pangan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk
Industri Rumah Tangga. Adapun, beberapa kriteria yang termasuk kedalam aspek
keamanan pangan antara lain: lokasi dan lingkungan produksi; bangunan dan
fasilitas; peralatan produksi; suplai air atau sarana penyediaan air; fasilitas
dan kegiatan higiene dan sanitasi; kesehatan dan higiene karyawan; pemeliharaan
dan program higiene dan sanitasi; penyimpanan; pengendalian proses; pelabelan
pangan; pengawasan oleh penanggungjawab; penarikan produk; pencatatan dan
dokumentasi; dan pelatihan karyawan. Standar label pangan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.
Standar minimal untuk label pangan yang harus dipenuhi oleh UMK Makanan Olahan
diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.23.04.12.2206 Tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri
Rumah Tangga. Adapun, standar minimal untuk label pangan harus mencakup: nama
produk; daftar bahan atau komposisi yang digunakan; berat bersih atau isi
bersih; nama dan alamat IRTP; tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa; kode
produksi; dan nomor P-IRT.
4.Standar
kemasan pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Adapun, rincian bahan yang dilarang atau
diperbolehkan untuk digunakan sebagai kemasan pangan, telah ditetapkan dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.07.11.6664
Tahun 2011 Tentang Pengawasan Kemasan Pangan. 10.Berdasarkan hasil diskusi
dengan para pemangku kepentingan (Badan POM, Kementerian Perindustrian, Dir.
Penggunaan dan Pemasaran Produk Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, serta
beberapa pelaku UMK makanan olahan), standar minimal yang harus dipenuhi oleh
UMK Makanan
Olahan mencakup tiga aspek yakni standar keamanan pangan, label pangan dan
kemasan pangan. Aspek keamanan pangan dan label pangan telah tercakup di dalam
persyaratan teknis Sertifikasi P-IRT dan Halal. Namundemikian, standar kemasan pangan belum dipersyaratkan
dalam sertifikasi tersebut.
5.Berdasarkan
hasil diskusi dengan beberapa pelaku UMK Makanan Olahan yang telah memperoleh
Sertifikat P-IRT dan Halal, terdapat beberapa keuntungan dari penerapan standar
tersebut yakni:
a) Memperluas akses pasar produk UMK Makanan Olahan
(produk UMK Makanan Olahan dengan sertifikat P-IRT dan Halal memiliki akses
untuk mengikuti berbagai pameran dagang dan dapat masuk ke ritel modern);
b) Meningkatkan
kepercayaan dari pihak – pihak terkait (konsumen, partner usaha dan regulator);
c) Meningkatkan efisiensi produksi dan menciptakan
keteraturan dalam organisasi UMK Makanan Olahan.
Selain itu, manfaat yang diperoleh bagi UMK Makanan
Olahan yang telah mengikuti persyaratan standar kemasan yang baik (Food Grade)
dan memiliki desain yang menarik yaitu peningkatan penjualan yang signifikan.
6.Berdasarkan
hasil temuan di lapangan, tidak semua UMK Makanan Olahan memiliki Sertifikat
P-IRT atau Halal. Adapun, beberapa kendala atau hambatan bagi pelaku UMK untuk
memperoleh Sertifikat P-IRT atau Halal adalah sebagai berikut: e) Butuh modal
lebih besar untuk memiliki sarana produksi yang memenuhi standar keamanan
pangan; f) Butuh sumber daya manusia yang terlatih dan memahami prinsip serta
standar keamanan pangan; g) Proses pengurusan Sertifikasi P-IRT di tiap daerah
berbeda, tergantung pada kebijakan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat,
seperti misalnya: iv) Di beberapa daerah, proses Sertifikasi P-IRT berjalan
lebih lama dikarenakan jumlah kuota dan frekuensi yang lebih sedikit untuk
mengikuti seminar keamanan pangan, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Sertifikat P-IRT; v) Besaran biaya yang berbeda antar daerah tergantung pada
peraturan daerah setempat; vi) Tidak seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
mensyaratkan produk UMK Makanan Olahan untuk lulus uji laboratorium terkait
keamanan pangan. h) Biaya pengurusan Sertifikasi Halal cukup mahal dengan masa
berlaku yang cukup singkat yakni hanya 2 tahun.
7.Berdasarkan
hasil wawancara dengan pelaku UMK Makanan Olahan terkait dengan pemasaran
produk mereka ke ritel modern, terdapat beberapa hambatan antara lain a) Hasil
penjualan dibayarkan 40 hari kerja setelah barang terjual; b) Biaya
administrasi pendaftaran barang (Listing Fee) dan sewa rak di ritel modern
relatif mahal dan tidak terjangkau bagi sebagian besar UMK Makanan Olahan, dan
di beberapa ritel modern, biayanya sama untuk produk UMK maupun produk industri
menengah dan besar.
8.Untuk
memperluas penerapan standar minimal pada produk UMK Makanan Olahan, maka
dilakukan analisis SWOT untuk menyusun strategi berdasarkan kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang terdapat dalam UMK yang telah memiliki
Sertifikat P-IRT dan Halal. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa strategi
terbaik untuk mengoptimalkan penerapan standar minimal adalah dengan strategi
S-O (Kekuatan – Peluang), yakni menggunakan semua kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Adapun, kekuatan yang dimaksud adalah: a) Adanya
jaminan kualitas produk; b) Meningkatkan efisiensi produksi; c) Adanya
perlindungan keselamatan, keamanan atau kesehatan manusia dan kelestarian
lingkungan hidup (K3L); d) Keteraturan dalam organisasi pelaku usaha (UMK); dan
e) Meningkatkan kepercayaan dari pihak terkait (konsumen, partner usaha,
regulator).
Rekomendasi Kebijakan
1.Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah
dilakukan, maka langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan
penerapan standar minimal (Sertifikat P-IRT dan Halal) pada produk UMK Makanan
Olahan antara lain adalah: a. Meningkatkan daya saing dan akses pasar untuk
produk UMK Makanan Olahan melalui: i) Memberikan pelatihan dan fasilitas
pembuatan desain kemasan yang menarik bagi UMK Makanan Olahan; ii) Menambahkan
persyaratan standar kemasan pangan food grade dan bebas bahan berbahaya di
dalam penilaian UKM Pangan Award; iii) Meningkatkan promosi produk UMK Makanan
Olahan pada pameran perdagangan yang diselenggarakan oleh Kementerian
Perdagangan; iv)Mengkaji ulang ketentuan mengenai besaran biaya administrasi
pendaftaran barang (listing fee) yang lebih terjangkau untuk UMK Makanan Olahanb. Mengoptimalkan pembinaan terhadap UMK Makanan
Olahan oleh Kementerian/Lembaga terkait, diantaranya: i) Merekomendasikan
kepada BPOM dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk menambah kuota dan
frekuensi pelaksanaan seminar/penyuluhan keamanan pangan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh Sertifikat P-IRT; ii) Mendorong dan menghimbau dinas
terkait di daerah untuk melakukan pendataan terhadap UMK Makanan Olahan secara
lebih terpadu (tidak hanya pada UMK binaan yang telah memiliki Sertifikat P-IRT
dan Halal); iii) Melakukan sosialisasi dengan cakupan yang lebih luas terkait
penerapan standar minimal kepada seluruh UMK Makanan Olahan, tidak hanya kepada
UMK yang telah mendaftar untuk memperoleh Sertifikat P-IRT. c. Merekomendasikan
kepada Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan level sertifikasi produk
pangan (P-IRT dan Halal), serta standar kemasan pangan (food grade) menjadi
standar minimal yang wajib dipenuhi oleh UMK Makanan Olahan