EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN POKOK
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dalam bertahan hidup dan
berkembang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Demikian pula bagi suatu
negara, pangan mempunyai banyak dimensi yang sangat erat kaitannya dengan
kelangsungan hidup negara itu sendiri. Sebagai contoh, dari segi kualitas
manusia, pangan memiliki peran vital dalam menjaga kualitas serta meningkatkan
produktivitas SDM. Dari segi politik dan keamanan negara, pangan dapat menjadi
isu panas yang bila tidak dikelola dengan baik dapat menjatuhkan suatu
pemerintahan. Pun dari segi ekonomi, sektor pangan merupakan salah satu sektor
penggerak perekonomian yang mampu menghasilkan kesejahteraan masyarakat,
khususnya bagi negara agraris seperti Indonesia. Berdasarkan catatan BPS,
Lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh positif 1,81 persen
pada kuartal 1 2019 (yoy) dan menyumbang 0.23 persen terhadap pertumbuhan PDB
nasional. Pentingnya peran pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran
masyarakat Indonesia, dimana pangsa pengeluaran masarakat untuk pangan masih
cukup tinggi atau sekitar 50% dari total pengeluaran (BPS, 2018).
Dengan demikian, pengelolaan pangan nasional menjadi agenda penting dalam
setiap periode pemerintahan. Secara umum, pengelolaan pangan nasional ditujukan
untuk meningkatkan ketahanan pangan, yang mencakup aspek ketersediaan,
aksesibilitas, dan stabilitas. Dampak dari pengelolaan pangan setidaknya dapat
dilihat dari satu indikator, yaitu
harga, yang merupakan indikator penting dalam menganalisis kondisi
ketersediaan (stok) dan juga tingkat permintaan di pasar. Oleh karena itu,
harga pangan pada dasarnya berkaitan erat dengan ketahanan pangan yang mencakup
ketersediaan pangan dan harga yang terjangkau oleh masyarakat serta kemudahan
untuk memperoleh pangan tersebut. Dengan terjaganya stabilitas harga bapok,
maka dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat dalam melakukan konsumsi
pangan. Demikian pula dalam menjamin ketersediaan pasokan, jika pasokan selalu
tersedia, maka harga akan relatif stabil dan juga dapat meminimalisir aksi
spekulan yang hendak mendapatkan keuntungan lebih dari harga pangan yang
bergejolak. Namun sebaliknya, jika harga pangan tidak stabil dan bahkan tinggi
maka akan membebani pengeluaran masyarakat terutama kategori berpendapatan rendah
(miskin) dalam mencukupi kebutuhan dasar pangan sertaberdampak negatif terhadap inflasi. Dampak lebih
lanjut dari tingginya harga pangan yaitu menghambat akses masyarakat terhadap
pangan yang berkualitas (gizi buruk), meningkatkan kemiskinan, dan pada
akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan serta
menjamin keberlanjutan pengelolaan bahan pangan pokok, maka pemerintah berupaya
untuk mengendalikan harga barang kebutuhan pokok, khususnya melalui berbagai
instrumen kebijakan baik dari sisi hulu dan hilir. Di sisi hilir misalnya
adanya kebijakan untukmeningkatkan produksi pangan nasional. Sedangkan di sisi hilir, salahnya
satunya adalah kebijakan pengendalian harga yang menjadi domain dari
Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan hasil analisis dampak implementasi kebijakan HET beras
terhadap stabilitas harga beras di dalam negeri, dapat disimpulkan beberapa
poin sebagai berikut:
1.Perkembangan harga beras selama tahun 2015-2018, harga beras menunjukkan
tren peningkatan dengan kenaikan harga rata-rata sebesar 3,02%. Harga beras
setelah penerapan HET terjadi kenaikan harga sekitar 5,6% dibandingkan periode
sebelum kebijakan HET.
2.Permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan kebijakan HET beras: (i)
Pedagang menjual beras sesuai harga pasar tidak terlalu memperhatikan HET.
Penjualan beras tetap menyesuaikan dengan harga beli gabah, (ii) jenis beras
medium dan premium hanya terdapat di tingkat penggilingan yang mana
penggilingan menjual harga beras berdasarkan harga gabah yang mereka beli,
(iii) secara umum, beras di pasar dijual berdasarkan varietas/merek dimana
setiap wilayah berbeda-beda serta (iv) struktur biaya produksi berbeda setiap
wilayah.
3.Faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan HET yaitu: (i)
perkembangan struktur biaya di tingkat petani hingga saat ini, (ii)
varietas/merk beras yang cukup banyak di setiap wilayah sehingga perlu
dilakukan pengujian untuk menentukan merk/varietas yang sesuai dengan kualitas
medium dan premium, serta (iii) perbedaan harga yang terlalu jauh antara harga
beras medium dan premium yang membuat pelaku pasar beras menjual beras yang
kualitasnya masih jenis medium tetapi menjual diatas harga di bawah premium
(moral hazard).
4.Implementasi kebijakan HET beras menjadi kurang efektif di lapangan
karena dihadapkan pada berbagai permasalahan yaitu: (i) Pedagang beras di pasar
masih menjual beras sesuai harga umum yang berlaku di pasar dan tidak terlalu
memperhatikan HET. Harga jual di pasar pada akhirnya harus menyesuaikan dengan
harga beli beras dari penggilingan dan harga gabah dari petani; (ii)
penggilingan menjual beras berdasarkan harga gabah yang mereka beli saat itu;
(iii) beras dijual berdasarkan varietas/merek yang berbeda-beda di setiap
wilayah, bukan kualitas; (iv) struktur biaya produksi yang bervariasi di
masing-masing wilayah (v) kriteria penentuan kualitas beras (medium dan
premium) kurang implementatif di pasar; (vi) Penentuan rentang HET antara beras
medium dan premium yang cukup lebar menjadi insentif bagi pedagang untuk meraup
keuntungan di luar kewajaran (moral hazard). Pada tingkat penggilingan,
produksi beras terdorong untuk menghasilkan beras premium karena prospek
keuntungan yang lebih besar dibandingkan beras medium, serta (vii) situasi nilai
tukar rupiah yang tidak stabil.
5.Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras eceran di tingkat konsumen
adalah harga beras medium di penggilingan, nilai tukar rupiah terhadap dollar
US, jumlah konsumsi beras, jumlah stok, jumlah produksi beras serta kebijakan
harga eceran tertinggi.
6.Kebijakan HET beras efektif mempengaruhi harga beras di tingkat eceran
dalam jangka pendek, hal ini dilihat dari sejak ditetapkan kebijakan HET,
kenaikan harga beras relatif sangat kecil dan inelastis.
7.Dalam jangka panjang, ditemukan bahwa penetapan kebijakan HET beras tidak
efektif dalam menciptakan stabilisasi harga eceran beras di tingkat domestik.
Selain disebabkan oleh adanya variable-variabel lainnya yang mempengaruhi hal tersebut seperti variabel nilai tukar, harga beras
medium di tingkat penggilingan, dan jumlah konsumsi dimana ketiganya secara
signifikan mempengaruhi terhadap stabilisasi harga eceran beras di pasar
domestik.
Analisis Harga Acuan
1.Berdasarkan pengolahan data deskriptif, pada tahun 2017-2019 hampir di
seluruh kota yang diamati menunjukkan bahwa secara umum harga pasar/eceran
rata-rata komoditas pangan terpilih berada di atas harga pasar. Namun, jika
diamati lebih seksama, hasil pengolahan data daerah secara deskriptif
menunjukkan hasil yang beragam, tergantung jenis komoditas dan wilayah yang
dipantau.
2.Respon harga setiap komoditas terhadap adanya kebijakan harga acuan
ternyata cukup beragam di 10 kota pantauan. Sebagaimana diketahui, faktor
pembentuk harga yang utama yaitu keseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Pada daerah yang bukan produsen suatu komoditas, atau hanya sebagai sentra
konsumsi, kemungkinan harga yang lebih tinggi dari acuan lebih mudah ditemui
dibandingkan pada sentra produksi.
3.Selain itu, faktor distribusi yaitu jarak, ongkos angkut, moda
transportasi juga mempengaruhi pembentukan harga. Semakin sulit distribusi dan
semakin mahal ongkos angkut, maka akan semakin tinggi harga komoditas pangan
yang didatangkan dari luar ke wilayah tersebut.
4.Berdasarkan komoditas, gula pasir dan minyak goreng merupakan komoditas
yang mampu merespon dengan baik adanya kebijakan harga acuan seiring dengan
menurunnya frekuensi kenaikan harga melebihi harga acuan. Sebaliknya, tiga
komoditas lainnya menunjukkan respon yang kurang baik, yaitu daging sapi dengan
tidak ada perubahan, dan produk unggas yaitu daging dan ayam ras menunjukkan
peningkatan harga pasar yang semakin tinggi menjauhi harga acuan.
5.Berdasarkan kota, Ambon merupakan kota yang paling progresif dalam
menurunkan harga pangannya, diikuti Lampung, Palangkaraya, dan Samarinda.
Sebaliknya, kota yang harga pasarnya semakin tinggi meninggalkan harga acuan
yaitu Jakarta dan Bandung serta disusul oleh Medan dan Makassar. Papua dan Papua
Barat menjadi provinsi yang tidak pernah mencapai harga acuan.
6.Penerapan harga acuan memberikan dampak yang cukup beragam pada komoditas
dan wilayah yang diamati. Namun demikian,secara umum kebijakan harga masih
belum cukup efektif mengendalikan harga karena tidak ada daerah yang mempunyai
harga pasar di bawah harga acuan secara konsisten selama periode pengamatan.
Rentang frekuensi harga pasar melebihi harga acuan pada 5 komoditas pangan
pokok di 10 kota pantauan yaitu berkisar antara 20-100 persen.
Rekomendasi Kebijakan
Harga Eceran Tertinggi
1.Kebijakan HET yang diberlakukan pada
beras, akan efektif jika dilakukan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang
kebijakan tersebut akan mendorong peningkatkan harga gabah menjadi lebih tinggi
dan relatif tidak stabil (relatif berfluktuasi).
2.Jika pemerintah tetap melanjutkan
kebijakan HET beras, beberapa hal yang perlu dilakukan, sebagai berikut:
a. Mempertimbangkan struktur biaya
di tingkat petani dengan kondisi saat ini;
a.Melakukan pengelompokkan kelas kualitas
dari berbagai jenis varietas/merek beras dalam kelompok beras medium dan
premium melalui pengujian laboratorium untuk memudahkan pengawasan;
b.Kebijakan HET harus didukung oleh
kondisi produksi dan stok beras yang aman dan mencukupi;
c.Kebijakan HET perlu disertai dengan
penegakan hukum dan sanksi yang tegas yang dituangkan dalam peraturan;
d.Menjaga tingkat nilai tukar rupiah
terhadap US dollar agar tetap terkendali, mengingat impor masih tetap
dibutuhkan untuk mengisi stok beras pemerintah.
Harga Acuan
1.Perlu adanya peningkatan pengawasan dan
intervensi oleh Pemerintah terhadap harga bahan kebutuhan pokok yang berada
diatas harga acuan sesuai Permendag Nomor 96 Tahun 2018.
2.Kegiatan pengawasan dan intervensi harga
perlu ditingkatkan untuk daerah dengan frekuensi kejadian harga pasar diatas
harga acuan tinggi, yaitu Papua dan Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan
Sulawesi Selatan, serta Sumatera Utara. Selain itu, diperlukan perhatian khusus
terhadap komoditas dengan fluktuasi aktif seperti produk unggas, yaitu daging
ayam ras dan telur ayam ras.
3.Perlu adanya peningkatan komunikasi yang
lebih efisien antara Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, Kementerian
Perdagangan, Bulog, dan BUMN terkait operasi pasar bagi penerapan Permendag
96/2018. Termasuk peningkatan peran “Rumah Pangan Kita” untuk membantu Bulog
dan Dinas Perdagangan setempat dalam mengimplementasikan Permendag Nomor 96
Tahun 2018.
4.Perlu dibentuk BUMD atau BLUD (Badan
Layanan Umum Daerah) di tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk stabilisasi
harga ditingkat daerah dimana BUMD/BLUD tersebut hanya membutuhkan perintah
dari Pemda setempat untuk melakukan intervensi.
5.Perlu dilakukan kajian untuk
meningkatkan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan operasi pasar oleh
Kementerian/Lembaga terkait penerapan Permendag nomor 96 tahun 2018