Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen serta
menghindarkannya dari ekses negatif akibat barang dan jasa yang beredar di
pasar, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU-PK). Berdasarkan UU tersebut, hak-hak konsumen
dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
produsen, importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur
perdagangan barang atau jasa. Selain peredaran barang dan jasa di pasar, faktor
keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting
dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus mengutamakan faktor
K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Sehingga mendorong Pemerintah
menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-DAG/PER/2/2006
Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, sehingga dampak
penyalahgunaan B2 dapat dikurangi. Namun demikian, dalam perkembangannya, baik
pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan
mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, lebih lanjut untuk mencegah terjadi
penyimpangan dan penyalahgunaan, Pemerintah mengeluarkan Permendag Nomor:
44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur pengadaan B2, baik yang berasal dari
lokal maupun impor melalui pengaturan jenis, pengadaan, pendistribusian,
perijinan, pelaporan dan larangannya. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan
Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag Nomor:
44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya
B2 yang berasal dari impor, yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran
teknis impor dan penetapan pelabuhan dan bandara untuk impor B2. Pada saat ini
masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat peruntukannya, seperti
penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B terutama pada produk pangan. Hasil
uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dari mobil laboratoriun keliling
di DKI Jakarta pada ahun 2012 menunjukkan bahwa 17 % PJAS mengandung B2, berupa
boraks, formalin dan rhodamin B. Kondisi tersebut diatas membuktikan bahwa
pengawasan distribusi B2 belum
efektif. Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan B2 dikemas dalam
ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa antara bahan baku
untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama (BPOM, 2012).
Penyalahgunaan B2 terutama untuk pangan tersebut diindikasi karena
pendistribusian B2 terutama dari pengecer B2 ke pengguna akhir B2. Sementara
sistem distribusi B2 yang ada sekarang belum terstruktur sehingga menyulitkan
dalam pengawasannya. Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka analisis
pengawasan distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa
permasalahan terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di yaitu
bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag tersebut.
Analisis pengawasan distribusi bahan berbahaya
menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk mengevaluasi
pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag
Nomor: 44/MDag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Permendag
Nomor: 23/MDAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor:
44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya perlu direvisi dan disempurnakan sehingga pelaksanaannya bisa lebih
efektif dan tidak terjadi penyalahgunaan B2.
Faktor-faktor penyebab implementasi Permendag B2
belum berjalan dengan baik, yaitu :
1.Belum tersedia data base B2 yang akurat dan
belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun
setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk
mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.
2.PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang
ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2.
Sehingga dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir
produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran
3.Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag
Nomor: 23/MDAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M DAG/PER/9/2009
dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI
tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam penyesuaian Harmonized System (HS)
dalam importasi B2.
4.Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan
karena saluran distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan
wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2
kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada
PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2.
5.Sistem pelaporan belum berjalan dengan
semestinya terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari
IT-B2 atau DT-B2 yang didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor
pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang
didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping
itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal
dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan.
6.Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas
B2 belum banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif
rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya
manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang beredar
terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik. Sementara
pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2,
tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2.
7.Masih
banyak daerah yang
belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan verifikasi
persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk
mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2.
Rekomendasi
1.Perlu dilakukan penyempurnaan
atau revisi Permendag Nomor: 23/MDAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi
dan Pengawasan B2 sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009
Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar penyalahgunaan B2 dapat
diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain menyangkut aspek pengadaan,
distribusi dan pengawasan serta penerapan sanksi, sebagai berikut :
Pengadaan: a. Perlu ditetapkan ketentuan
perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pemgetatan pelaporan
B2. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap
seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar
(IT).
Distribusi
dan Pengawasan: a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan
terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur,
sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen
(P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor Terdaftar
(DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 .
b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap
wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi sebagai
perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya dan untuk
itu berkewajiban melaporkan realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi
terkait di wilayahnya. c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar
dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin
khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk jumlah
dan kurun waktu tertentu.
2.Perlu
komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan distribusi B2,
dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan
B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa.
3.Perlu
juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan menimbulkan efek
jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku
usaha dalam memenuhi segala kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi
terhadap pelanggaran perlu ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan
yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen. Perlu dilakukan
pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan peredaran B2 secara
terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan upaya untuk menyediakan
bahan alternatif yang bisa menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif
murah.
4.Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang
bahayanya penggunaan B2 untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri
pangan atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop,
seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap
melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat dapat
dalam bentuk program konsumen cerdas (KONCER).