Sektor pertanian tetap mempunyai
peran yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pembangunan
ekonomi. Pada negara berkembang seperti Indonesia, pertanian masih merupakan
tulang punggung bagi 38 juta penduduk. Liberalisasi perdagangan yang berdampak
pada serbuan impor produk pertanian akan berpengaruh pada produksi produk
pertanian dalam negeri. Sekedar perbandingan, tren pertumbuhan produksi
beberapa komoditi seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi sejak
tahun 1975 hingga 2012 masing-masing hanya sebesar 2,54%, 4,94%, 0,59%, 1,42%,
dan 2,33%. Sedangkan pertumbuhan impornya pada periode yang sama masingmasing
mencapai 1,99%, 13,65%, 7,66%, 8,28%, dan 4,58% (BPS 2013, diolah).
Besarnya persentase impor di
satu sisi akan menguntungkan konsumen dengan harga yang relatif terjangkau,
namun disisi lain dapat menurunkan harga produsen. Terkait dengan hal tersebut,
Kementerian Perdagangan sudah menetapkan beberapa kebijakan yang dapat
mengakomodir kebutuhan produsen dan konsumen. Dalam kebijakan yang
“pro-produsen”, Kementerian Perdagangan bersama dengan Bulog terus memantau
pengadaan Cadangan Beras Pemerintah melalui pengadaan beras oleh Bulog dengan
Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pada komoditas gula, Kementerian Perdagangan
menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) Gula untuk menghindari kejatuhan harga di
tingkat produsen.
Sedangkan untuk komoditas
kedelai, Kementerian Perdagangan juga menetapkan Harga Beli Petani (HBP)
Kedelai untuk menjamin kepastian harga di tingkat produsen. Sedangkan untuk
kebijakan yang “pro-konsumen”, Kementerian Perdagangan memiliki kebijakan harga
referensi yang memungkinkan produsen menjual dengan harga yang layak sehingga
tidak membebani konsumen, seperti pada komoditas cabe, bawang, dan daging sapi.
Berdasarkan hal tersebut,
analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas kebijakan harga serta
rekomendasi kebijakan harga yang terbaik untuk beberapa komoditas pertanian. Hasil
analsis berupa gambaran deskriptif efektifitas kebijakan harga yang ditetapkan
pemerintah serta rekomendasi rumusan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan harga. Komoditi yang menjadi obyek penelitian antaraain Beras, Gula, Kedelai, Bawang Merah, Cabe Merah,
dan Daging Sapi dengan beberapa peraturan terkait kebijakan harga. Hasil dari
analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengaturan impor cabe merah, bawang merah
dan daging sapi dengan instrumen harga referensi secara empiris terbukti belum
efektif untuk mengendalikan harga eceran, yang berarti merugikan konsumen. Hal
tersebut dapat dilihat dari harga eceran yang selalu lebih tinggi dari harga
referensi.
Namun kebijakan tersebut efektif
dalam mendukung harga produsen. Hal ini dibuktikan dengan harga produsen selalu
lebih tinggi dari harga paritas referensi ditingkat produsen. Pada sisi lain,
kebijakan harga referensi sangat menguntungkan importir yang dibuktikan dengan
harga paritas impor (HI) selalu lebih rendah dari harga domestik. Dengan
demikian, kebijakan harga referensi belum efektif mewujudkan tujuan
mengendalikan harga eceran, namun berhasil mewujudkan tujuan mendukung harga
petani. Sementara untuk kebijakan harga produsen yang diterapkan pada beras dan
gula sudah mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani. Namun,
kenaikan harga produsen tersebut belum diikuti oleh kenaikan produktivitas.
Sepanjang tahun 2004 – 2013, HPP Gula naik rata-rata sebesar 10,06% per tahun
sementara rendemen nasional (salah satu ukuran produktivitas pabrik gula) turun
sebesar 0,22% per tahun. Untuk padi/beras, HPP Gabah Kering Panen, Kering
Giling, dan Beras masing – masing naik sebesar 11,71%, 10,68%, dan 9,29%
sementara produktivitas padi sebesar 1,50% per tahun pada periode yang sama.
Namun untuk kedelai, pelaksanaan kebijakan pengamanan harga kedelai di tingkat
petani tidak efektif, karena dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013
tentang Penugasan Kepada Perum Bulog Untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran
Kedelai, tata cara pengamanan harga oleh Bulog diatur oleh Menteri Perdagangan.
Namun dalam Permendag No.
52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan
Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe, tidak secara eksplisit
mewajibkan Bulog sebagai lembaga pemerintah untuk melakukan pembelian kedelai
dari petani dengan harga dan waktu tertentu serta wilayah yang ditetapkan.
Selain itu, penetapan HBP tidak didukung dengan mekanisme pengaturan yang
menjamin harga di tingkat petani sesuai dengan HBP, antara lain hanya
mewajibkanmportir untuk melaporkan volume dan harga pembelian
kedelai impor tetapi tidak mengatur secara ekplisit kewajiban bagi importir
membeli kedelai petani pada harga sesuai HBP dan tidak ada keterkaitan antara
penerbitan izin impor (Nomor Pengenal Importir Khusus) dengan kewajiban
pembelian kedelai petani. Efektifitas kebijakan harga referensi dapat dicapai
dengan merevisi Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan
Ekspor Hewan dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang
Perubahan Atas Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura, terutama untuk memastikan importasi ditunda pada masa harga
eceran di bawah harga referensi dan importasi didorong pada masa harga eceran
di atas harga referensi.
Selain itu, perlu opsi kebijakan yang dapat mendampingi
kebijakan harga referensi menjadi efektif, yaitu: kebijakan yang dapat
mendorong persaingan sehat dalam importasi, kebijakan yang memberikan
kesempatan bagi Bulog untuk mengimpor (contesting the markets strategy), atau
kebijakan menaikkan bea masuk dan atau mengenakan biaya administrasi pengurusan
impor (tapping the rent strategy). Untuk harga produsen, konsep kebijakan
dukungan harga produsen pada gabah/beras, gula dan kedelai perlu diubah dari
instrumen utama menjadi instrumen komplementer peningkatan pendapatan petani
serta pendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi usatatani dan industri
pengolahan (gula). Hal yang dapat dilakukan adalah HPP/HBP ditetapkan terintegrasi
dengan kebijakan subsidi/bantuan benih, subsidi/bantuan pupuk dan subsidi
kredit usahatani. Selain itu, HPP/HBP ditetakan sebagai pendorong adopsi
inovasi.
Dari alasan operasional sementara ini, konsep ini hanya
dapat diterapkan untuk HPP gula karena kolektivitas petani tebu sudah cukup
solid. Penyesuaian (peningkatan) HPP gula tidak saja berdasarkan prognosa
profitabilitas usahatani/pabrik gula tetapi juga dikaitkan dengan produktivitas
tebu dan rendemen gula pada musim tanam sebelumnya, dan atau dengan
keikutsertaan petani dalam program peningkatan produktivitas seperti
penggantian varietas tertentu. Khusus untuk kedelai, pengamanan harga di
tingkat petani perlu diperkuat dengan instrumen yang dapat mendukung penegakkan
kebijakan HBPmelalui beberapa opsi kebijakan, antara lain: (i) Ketentuan penerbitan
izin impor perlu dikaitkan dengan kewajiban bagi importir untuk membeli kedelai
petani pada tingkat HBP; (ii) penugasan kepada Bulog untuk melakukan pembelian
kedelai petani pada HBP dengan mengadopsi mekanisme pembelian gabah petani pada
komoditi beras; (iii) peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di
tingkat petani; dan (iv) peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga
di tingkat petani dan diikuti dengan pemberian izin impor bagi pengrajin
tahu/tempe melalui koperasi untuk menjamin kepastian pasokan dan harga melalui
rantai distribusi yang lebih efisien.