ANALISIS
DINAMIKA KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang
paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang
dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan
kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan
masyarakat, sehingga nantinya akan diperoleh kualitas sumber daya Indonesia
manusia (SDM) yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul sebagai bangsa.
Sumber daya manusia berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas,
produktif dan mandiri (Menteri Kesehatan, 2005). Pemenuhan kecukupan pangan
bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan
masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan
salah satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan
perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau harganya serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
Pada saat ini secara global, beberapa negara sedang
mengalami berbagai macam kemungkinan terjadinya krisis. Salah satu potensi
krisis yang memiliki dampak serius adalah ancaman terjadinya krisis pangan
global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis) saling berkaitan erat
dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan dinamika ekonomi
global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan
volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan
global ini pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik,
karena saat ini tidak ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari
komunitas dunia. Pada skala dunia, diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk
dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010). Di Indonesia,
proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan pada tahun 1999 sebesar 14,2%
dan pada tahun 2008 turun menjadi sebesar 8,7%. Bila dikaitkan dengan dinamika
perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumahtangga
rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan
kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan
penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk; 2000).
Selain pengaruh faktor ekonomi, pangan juga sangat
tergantung pada perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini
mengakibatkan perubahan pola tanam, perubahan pola hujan sehingga waktu kapan
akan terjadi musim kering atau musim hujan sulit diprediksi, munculnya
hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya. Perubahan beberapa
faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan sesuai yang
telah dicanangkan. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan
melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan
optimal dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan
pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan
semaksimal mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri.
Di satu sisi, pola konsumsi pangan masyarakat berbeda dan berubah dari waktu ke
waktu, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Pola konsumsi pangan antara
daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda tergantung dari lingkungannya
termasuk sumberdaya dan budaya setempat, selera
dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan berubah
dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan
kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta perubahan gaya hidup. Dengan
demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu
akan menentukan perubahan berapa pangan yang harus disediakan dan bagaimana
distribusinya agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan
harga yang wajar.
Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan
merupakan salah satu entry point dan sub system untuk memantapkan ketahanan
pangan. Dengan mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat akan dapat disusun
kebijakan terkait dengan penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi
dalam negeri maupun impor . Kebijakan produksi pangan mencakup berapa volume dan
jenis pangan yang mampu diproduksi dengan memperhatikan sumberdaya lahan, air,
teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan memperhatikan potensi produksi
dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan berapa banyak dan jenis pangan yang
harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor.
Selain itu dengan mengetahui perubahan konsumsi
pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan
agar masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia. Analisis ini bertujuan
(a) menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan masyarakat untuk
mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat, (b)
menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan
untuk mengetahui bagimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, serta (c)
melakukan proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk mengetahui perkiraan
jumlah pangan yang dibutuhkan masyarakat
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diukur dengan pangsa pengeluaran pangan,
baik di perkotaan maupun di perdesaan semakin membaik. Terdapat perubahan pola
pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok padi-padian ke kelompok
makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran untuk kelompok pangan yang
lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut pengembangan
usaha di sektor makanan/minuman jadi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat. Usaha makanan/minuman jadi juga harus memperhatikan faktor keamanan
pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumah tangga dan kecil.
Hasil analisis lainnya juga menunjukkan bahwa pola
konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi
kebutuhan energi, protein, namun untuk keragaman konsumsi masih perlu
ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras sebagai sumber energi dan
protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu menurun tingkat
konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara
pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama
15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya
konsumsi minyak goreng terus meningkat. Peningkatan pendapatan berdampak pada
perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan
meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola
konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi. besar dalam struktur penduduk. Secara
agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton,
sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masingmasing sekitar 2,1 juta
ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton
dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu diingatkan lagi bahwa
permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, dengan
kata lain tidak termasuk permintaan hotel, restaurant, catering dan industri.
Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah mengingat pola konsumsi
masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan, maka pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat
hanya akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan
mencerdaskan. Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada
kebijakan pemerintah, namun juga semua elemen, seperti swasta dan masyarakat.
Selain itu, perlu adanya edukasi konsumen, khususnya dalam hal mempromosikan
produk makanan secara benar dan tidak menyesatkan konsumen. Dalam upaya
diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumber daya lokal, peran
pemerintah harus secara signifikan dapat mewujudkan hal tersebut, seperti peran
pemerintah dalam mengalihkan pola makan masyarakat dari beras dan produk terigu
ke makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu). Pemerintah juga harus berperan
dalam pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan
penyadaran masyarakat. Langkah awal yang dapat dilakukan, salah satu
diantaranya adalah pemberian produk olahan berbasis pangan lokal secara gratis
oleh pemerintah melalui raskin, pangan darurat dan lainnya. Di samping itu,
perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat kabar) ataupun semua
elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena kelaparan atau
miskin. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa permintaan pangan pada tahun 2020 pada
umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih
relatif besar dalam struktur
penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar
16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masingmasing
sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng
sekitar 3,0 juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu
diingatkan lagi bahwa permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk
rumah tangga biasa, dengan kata lain tidak termasuk permintaan hotel,
restaurant, catering dan industri.
Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah
mengingat pola konsumsi masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan
pendapatan, maka pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi harus terus
ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya akan mengkonsumsi makanan yang
berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan. Upaya penyadaran ini tidak dapat
hanya bersandarkan pada kebijakan pemerintah, namun juga semua elemen, seperti
swasta dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya edukasi konsumen, khususnya
dalam hal mempromosikan produk makanan secara benar dan tidak menyesatkan
konsumen.
Dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok
berbasis sumber daya lokal, peran pemerintah harus secara signifikan dapat
mewujudkan hal tersebut, seperti peran pemerintah dalam mengalihkan pola makan
masyarakat dari beras dan produk terigu ke makanan lokal (umbi-umbian, jagung,
sagu). Pemerintah juga harus berperan dalam pengembangan industri pengolahan
pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran masyarakat. Langkah awal yang
dapat dilakukan, salah satu diantaranya adalah pemberian produk olahan berbasis
pangan lokal secara gratis oleh pemerintah melalui raskin, pangan darurat dan
lainnya. Di samping itu, perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat
kabar) ataupun semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena
kelaparan atau miskin.