ANALISIS
POSISI KEMENTERIAN PERDAGANGAN TERKAIT RANCANGAN UNDANG-UNDANG (RUU) TENTANG
PERTEMBAKAUAN
Komoditas tembakau memiliki potensi strategis
bagi penghidupan dan perekonomian nasional. Komoditas tembakau selalu melekat dengan
pro-kontra rokok dengan segala atribut sosial, ekonomi dan kulturalnya dan
terutama persoalan dampak kesehatannya dan moralitasnya. Pro-kontra ini
berujung pada dua aspek, yakni antara kesehatan dan ekonominya, dimana dampak
kesehatan tembakau bagi perokok mengakibatkan tingginya alokasi anggaran negara
untuk menanggung biaya kesehatan akibat rokok selain itu pemerintah memiliki
kepentingan untuk melindungi masyarakat dari gangguan kesehatan dan melindungi
kepentingan masa depan generasi penerus bangsa. Saat ini konsumsi rokok
menempati peringkat kedua konsumsi rumah tangga miskin. Dana yang dikeluarkan
rumah tangga untuk konsumsi produk tembakau berdasarkan data dari Susenas BPS
sebanyak 3,2 kali lebih besar dari pengeluaran membeli telur dan susu, 4,2 kali
lebih besar dari pengluaran untuk membeli daging, 4,4 kali lebih besar dari
pengeluaran untuk biaya pendidikan, dan 3,3 kali lebih besar dari pengeluaran
biaya kesehatan. Hal ini membuktikan urgensi bagi pemerintah untuk segera
melakukan kebijakan agar bisa merubah pola konsumsi rumah tangga ini.
Berdasarkan data riskesdas, Prevalensi perokok di bawah umur saat ini juga
meningkat dari 7,2% (2013) menjadi 8,8% (2016). Tingginya tingkat konsumsi
rokok di kalangan pemuda dibawah 18 tahun ini akan berdampak pada kualitas SDM
Indonesia yang akan datang. Beban pengobatan atas penyakit akibat konsumsi dan
termasuk akibat paparan asap rokok dan tembakau yang ditanggung oleh Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) adalah lebih dari Rp. 10 Triliun tahun 2015, sementara
defisit BPJS tahun 2016 Rp. 7 Triliun. Di sisi lain adalah besarnya keuntungan
ekonomi yang diciptakannya bagi petani dan ekonomi pedesaan secara luas.
Tembakau merupakan komoditas perkebunan yang secara keseluruhan telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Untuk mendorong
pengembangan budi daya tembakau nasional dan dalam upaya perlindungan petani
dan peningkatan kesejahteraan petani tembakau, pemerintah memprogramkan
kemitraan antara petani tembakau dengan pelaku usaha dan stakeholder terkait.
Saat ini pemerintah sedang menyusun Road Map Pertembakauan Nasional sebagai
acuan dalam pengembangan tembakau nasional yang meliputi sasaran, arah
kebijakan dan langkah operasional, proyeksi dan sumber pembiayaan pengembangan
pertembakuan nasional untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri
maupun luar negeri dan peningkatan mutu. Dalam peningkatan mutu tembakau dan
kesejahteraan petani tembakau, pemerintah terus berupaya untuk melakukan
perbaikan dan penguatan regulasi termasuk penyusunan Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Usaha Perkebunan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Perbenihan Tanaman Perkebunan. Terkait dengan distribusi dan tata niaga produk
tembakau khususnya pembatasan importasi tembakau, Pemerintah pada prinsipnya
mendukung kepentingan petani tembakau dan pelaku usaha dalam negeri. Industri
hasil tembakau merupakan industri yang mengolah bahan baku tembakau menjadi
produk tembakau yang terdiri dari industri pengeringan dan pengolahan tembakau
serta industri kretek sehingga memiliki nilai tambah dan harus diatur
pelaksanaannya mulai dari jenis produk tembakau, kepemilikan usaha dan
perizinan. Kebijakan pemerintah terkait dengan harga dan cukai yang telah
dilakukan selama ini adalah melalui penetapan Harga Jual Eceran (HJE) minimum
dan tarif cukai hasil tembakau yang dilakukan dengan tetap memperhatikan
industri padat karya yaitu dengan memberikan pembebanan yang lebih rendah
dibandingkan dengan industri padat modal.
Rancangan
Undang-Undang Tentang Pertembakauan (RUU Pertembakauan) merupakan satu dari 70
RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun
2016. Penyusunan RUU terkait dengan produk tembakau diawali pada tahun 2006
dengan pengajuan awal “RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap
Kesehatan (RUU PDPTK)” oleh Komisi IX DPR hingga masuk dalam daftar Prolegnas
2009 – 2014. Namun pada rapat pleno Badan Legislasi pada 14-15 Desember 2011
mencoret RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan dari daftar
prioritas lima tahunan 2009-2014. Setealah itu permasalahan tembakau tidak
pernah dibahas lagi, sampai Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK)
mengajukan draft RUU Pertembakauan pada Oktober 2012. Pembahasan RUU
Pertembakauan selama periode tahun 2013 – 2014 diakhiri dengan keputusan Rapat
Paripurna 14 Juli 2014 yang menerima RUU Pertembakauan sebagai RUU inisiatif
DPR RI. Terkait dengan hal tersebut, pada tanggal 25 Juli 2014, Presiden
menunjuk 6 kementerian sebagai wakil pemerintah untuk membahas RUU tersebut di
bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Namun, pada tanggal 11 Agustus 2014,
Menteri Kesehatan melaporkan kepada Presiden hasil rapat koordinasi yang
menolak RUU Pertembakauan karena tidak mencerminkan semangat mewujudkan NKRI
yang mencerdaskan, menyehatkan dan meningkatkan kualitas hidup rakyat
Indonesia. Pada masa pergantian kepemimpinan nasional pada akhir tahun 2014,
RUU Pertembakauan kembali diajukan dalam Rapat Paripurna pada Februari 2015
untuk dimasukkan daftar Prolegnas 2015 – 2019 dan menjadi prioritas Prolegnas
tahun 2015. Pada Agustus – September 2015 Baleg DPR melakukan harmonisasi RUU
Pertembakauan karena RUU Pertembakauan masuk lagi dalam Prolegnas prioritas
2016.
RUU Pertembakauan tidak efektif karena:
1.Tembakau bukan
merupakan komoditas primer, dalam arti tidak banyak petani Indonesia yang
menanam komoditas dimaksud;
2.RUU ini
berpotensi memicu peningkatan konsumsi zat adiktif nikotin dari tembakau;
3.Sebagian besar
hasil produksi petani tembakau lokal merupakan tembakau yang digunakan untuk
industri rokok kretek yang kandungan nikotin dan tar nya cukup tinggi dan
membahayakan kesehatan. Apalagi rokok tersebut hanya dikonsumsi di dalam negeri
dan hanya sebagian kecil yang diekspor;
4.RUU ini mengatur
produksi rokok yang sebagian besar bahan bakunya (hampir 60%) diperoleh dari
impor dengan pengembalian bea masuk apabila mengekspor kembali, sehingga tidak
memberikan kontribusi yang signifikan. Dengan demikian RUU Pertembakauan tidak
akan efektif dalam meningkatkan perekonomian nasional;
5.Melindungi dan
mendukung penggunaan mesin di industri rokok sehingga tidak bersifat padat
karya. Hal ini terlihat dari peta jalan industri tembakau oleh Kementerian
Perindustrian (lampiran 1) yang akan meningkatkan produksi rokok mesin hingga
80% dalam lima tahun ke depan, peta jalan tersebut masih diperdebatkan. Jadi,
RUU ini lebih melindungi industri rokok yang bukan padat karya.
6.Meskipun penerimaan cukai dari hasil penerimaan rokok cukup besar,
namun pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan pengobatan penyakit akibat rokok
jauh lebih besar, sehingga tujuan dari penyusunan RUU Pertembakauan kurang
efektif.
Berdasarkan hasil rapat koordinasi dengan
beberapa Kementerian/Lembaga terkait, terdapat posisi dari Kementerian/Lembaga
terkait, yaitu:
1.Kementerian/Lembaga
yang setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Pertembakauan antara lain adalah
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan
Badan Koordinasi Penanaman Modal;
2.Kementerian/Lembaga
yang tidak setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Pertembakauan antara lain
adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Kantor
Staff Kepresidenan;
3.Kementerian/Lembaga
yang berada pada posisi netral adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Sekretariat Negara.
Rekomendasi
1.Meskipun penerimaan cukai dari hasil penerimaan
rokok cukup besar, namun pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan pengobatan
penyakit akibat rokok jauh lebih besar, sehingga tujuan dari penyusunan RUU
Pertembakauan kurang efektif dan disarankan untuk dihentikan.
2.Mengingat pola
konsumsi rokok menempati peringkat 2 konsumsi rumah tangga miskin, pemerintah
harus pemerintah harus segera melakukan kebijakan untuk merubah pola konsumsi
rumah tangga. Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan
3.RUU Pertembakauan
tidak perlu dibuat dalam bentuk Undang-undang. Apabila hendak mengatur tentang
petani dan industri tembakau cukup diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah
ataupun Peraturan Menteri sesuai mandat dari UU yang telah mengatur aspek-aspek
yang terdapat dalam RUU Pertembakauan.
4.Posisi
Kementerian Perdagangan jika RUU dimaksud akan diteruskan pembahasannya, maka
substansi di bidang perdagangan yang perlu diharmonisasikan, antara lain:
a. Pengaturan mengenai pemberian izin
usaha, pelarangan terhadap badan hukum dengan penanaman modal asing dalam
kegiatan distribusi dan tata niaga, penentuan harga dasar, dan penerapan sanksi
untuk penegakan hukum.
b. Perlu ditetapkan justifikasi
terhadap penetapan kuota impor terkait dengan adanya lonjakan jumlah Barang
Impor yang menyebabkan produsen dalam negeri menderita kerugian serius atau
ancaman kerugian serius.
c. Perlu ditetapkan ketentuan mutu
produk yang terkait dengan kesehatan konsumen untuk seluruh jenis produk hasil
tembakau.