ANALISIS
PENERAPAN PERMENDAG NOMOR 58 TAHUN 2018 DI TINGKAT PENGECER
Bahan pangan pokok merupakan faktor yang
sangat krusial bagi suatu negara. Pasalnya, pembahasan mengenai bahan pangan
pokok ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, melainkan juga aspek penting
lain seperti sosial dan politik. Kebutuhan bahan pangan pokok juga harus
terpenuhi dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat. Aturan mengenai bahan
pangan pokok ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
27/M-DAG/PER/5/2017. Hingga pada 2 Mei 2018 lalu, pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan secara resmi mengumumkan mengganti aturan tersebut
dengan aturan yang baru, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun
2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di
Konsumen. Peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok
dan Barang Penting yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan, stabilitas, dan
kepastian harga. Setidaknya terdapat delapan komoditas yang diatur oleh aturan
yang baru ini. Komoditas tersebut antara lain jagung, kedelai, gula, minyak
goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Menurut
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018, harga acuan pembelian di
petani adalah harga pembelian di tingkat petani yang ditetapkan oleh
Kementerian Perdagangan dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar
mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan, dan/atau
biaya lain. Sedangkan harga acuan penjualan di konsumen merupakan harga
penjualan di tingkat konsumen yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan
dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain biaya
produksi, biaya distribusi, keuntungan,dan/atau biaya lain. Penerapan dari kebijakan
mengenai harga acuan tersebut menjadi penting karena dapat dijadikan patokan
oleh berbagai pihak, seperti Perum BULOG serta BUMN lainnya. Pihak-pihak
tersebut menggunakan aturan ini sebagai referensi dalam melaksanakan penugasan
pemerintah terkait upaya stabilisasi harga. Keberadaan aturan mengenai harga
acuan ini menjadi sangat penting karena menyangkut kesejahteraan seluruh
masyarakat. Terlebih lagi, bukan hanya peran pemerintah yang diperlukan di
sini. Masukan dari petani dan peternak pun turut menjadi bahan pertimbangan.
Dampak dari kebijakannya pun tidak boleh berat sebelah atau hanya menguntungkan
satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Kenaikan harga pangan yang tidak
terkontrol berdampak pada penurunan pemenuhan asupan gizi masyarakat. Dengan
adanya penetapan harga acuan tersebut diharapkan dampaknya tak hanya mampu
mengendalikan tingkat harga di kalangan konsumen, tetapi juga mampu memberikan
keuntungan bagi petani dan peternak sehingga menjamin ketersediaan, stabilitas
dan kepastian harga bahan pangan pokok. Akan tetapi, muncul sebuah pertanyaan.
Apakah kemudian dengan adanya peraturan tersebut maka ketersediaan, stabilitas
dan kepastian harga bahan pangan pokok dapat langsung tercapai? Belum tentu.
Hal tersebut tergantung dari bagaimana implementasi dan seberapa efektif
peraturan tersebut dapat berjalan. Tujuan dari peraturan tersebut baru akan
tercapai manakala masing-masing pihak memiliki kesadaran untuk mematuhinya.
Oleh sebab itu, melalui analisis ini ingin ditinjau efektivitas implementasi
Permendag 58/2018 yang telah dilaksanakan sejak bulan Mei 2018 berdasarkan
analisis data-data pergerakan harga ditingkat pengecer.
Dalam literatur ekonomi pasar, penerapan harga
acuan merupakan bagian dari pengontrolan harga oleh Pemerintah (price control)
yang merupakan bentuk intervensi Pemerintah terhadap Pasar. Pelaksanaannyadapat
berupa harga tertinggi (price ceiling) atau harga terendah (price floor). Maksud
di balik penerapan kontrol harga tersebut dapat berasal dari keinginan untuk
mempertahankan keterjangkauan barang, untuk menghambat inflasi, atau untuk
memastikan pendapatan minimum untuk penyedia/pemasok barang-barang tertentu,
atau upah minimum. Para ekonom-pasar umumnya berpendapat bahwa pengontrolan
harga seharusnya dihindari, karena dapat mengarahkan ekonomi pada distorsi
alokasi sumberdaya, yang membuat pasar berada dalam kondisi kelebihan
permintaan dan potensi kenaikan harga. Beberapa literatur menyebutkan dampak
penetapan harga dapat mengarahkan pasar pada kegagalan pasar, kegagalan usaha,
hambatan pembentukan stok nasional, atau bahkan krisis ekonomi.
Kesimpulan 1. Secara nasional
komoditas-komoditas yang diamati selalu memiliki harga pasar diatas harga acuan
nya, baik sebelum penerapan kebijakan maupun sesudahnya. Hal ini menunjukkan
Permendag 58/2018 belum efektif dilaksanakan oleh instansi-instansi yang
terkait. 2. Sekitar 17,6% daerah di Indonesia selama periode pengamatan selalu
ada dalam keadaan dimana harga pasar lebih tinggi dibandingkan harga acuan
untuk semua komoditi yang diamati. Mereka adalah Jambi, Bali, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Gorontalo. Tampak bahwa wilayah
Kalimantan, Maluku,dan Papua adalah daerah yang membutuhkan banyak penugasan
bagi pengendalian harga barang sesuai acuan. 3. Rekam Data operasi pasar
menunjukkan belum ada petunjuk intervensi yang dilakukan sesudah penetapan
kebijakan, untuk komoditaskomoditas yang diamati. Padahal pengamatan terhadap
pergerakan harga pasar telah menunjukkan bahwa harga komoditas-komoditas
tersebut telah secara signifikan keluar dari rentang keyakinan yang ada. Hal
ini menunjukan belum adanya pengawasan harga sesuai dengan Permendag Nomor 58
Tahun 2018 terhadap harga bahan kebutuhan pokok di daerah. 4. Rekam data
operasi pasar menunjukkan adanya intervensi untuk komoditas Beras Medium (yang
tidak dikaji dalam analisis ini) pada bulan April 2018. Hal ini menunjukkan
komoditas selain beras belum masuk dalam prioritas penanganan oleh pemerintah.
Informasi ini menunjukkan operasi pasar yang diinstruksikan belum mencerminkan
hasil identifikasi komoditas dan wilayah yang tepat dan terstruktur. Tampak
bahwa mekanisme dan struktur kelembagaan bagiimplementasi
Permendag 58/2018 belum berjalan secara terintegrasi, efektfif dan efisien. Hal
ini menunjukkan perlunya penguatan komunikasi antar kelembagaan dalam
pengawasan dan operasi pasar untuk menerapkan Permendag 58/2018.. 5. Penerapan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018 memberikan dampak yang cukup
efektif untuk mengendalikan harga komoditi gula, hal ini dikarenakan komoditi
gula banyak dijual di toko modern yang cenderung mematuhi harga acuan, sehingga
hal tersebut mempengaruhi harga gula di pasar
Rekomendasi 1. Perlu adanya peningkatan
pengawasan dan intervensi oleh Pemerintah terhadap harga bahan kebutuhan pokok
yang berada diatas harga acuan sesuai Permendag Nomor 58 Tahun 2018. 2.
Kegiatan pengawasan dan intervensi harga perlu ditingkatkan untuk daerah Kalimantan,
Maluku,dan Papua dibandingkan dengan daerah lainnya. 3. Perlu adanya
peningkatan komunikasi yang lebih efisien antara Kementerian Pertanian, Kemenko
Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Bulog, dan BUMN terkait operasi pasar
bagi penerapan Permendag 58/2018. Termasuk peningkatan peran “Rumah Pangan
Kita” untuk membantu Bulog dan Dinas Perdagangan setempat dalam
mengimplementasikan Permendag Nomor 58 Tahun 2018. 4. Perlu dibentuk BUMD atau
BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) di tingkat Provinsi yang memiliki tugas untuk
stabilisasi harga ditingkat daerah dimana BUMD/BLUD tersebut hanya membutuhkan
perintah dari Pemda setempat untuk melakukan intervensi