Evaluasi Kebijakan Harga
Acuan Penjualan di Konsumen
pada Komoditas Gula
Konsumsi
Gula
merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang tidak hanya untuk konsumsi
rumah tangga tetapi juga untuk kebutuhan bahan baku industri terutama makanan
dan minuman serta farmasi. Kebutuhan gula
nasional rata-rata berkisar antara 2,7 juta ton – 2,8 juta ton, sementara produksi gula nasional sekitar 2,3
juta ton – 2,6 juta ton (APTRI, 2020). Selama lima tahun terakhir (2015-2019)
produksi gula cenderung mengalami penurunan dari 2,6 juta ton menjadi 2,2 juta
ton dan tahun 2020 diperkirakan produksi gula sekitar 2,1 juta ton (APTRI,
2020).
Sebagai salah satu komoditi barang kebutuhan pokok,
stabilitas harga gula perlu menjadi perhatian, baik di tingkat produsen maupun
konsumen. Kenaikan harga gula yang cukup
tinggi akan berdampak pada inflasi yang mana bobot gula terhadap inflasi
sebesar 0,40% (BPS, 2019). Selain
inflasi, harga yang tinggi berdampak pada daya beli dan pengeluraan masyarakat
untuk bahan pangan. Menurut BPS, pangsa
pengeluaran masyarakat untuk gula sebesar
1,18% terhadap total pengeluaran bahan makanan (pangan). Gula juga memberi kontribusi terhadap garis
kemiskinan sebesar 1,99% (perkotaan) dan 2,78% (perdesaan) (BPS, 2019).
Untuk menjamin stabilitas
harga gula, terdapat dua instrumen penting yang digunakan, yaitu Harga
Pembelian Tingkat Petani (HPP) serta Harga Eceren Tertinggi (HET)/Harga Acuan
gula yang
ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 jo. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/2020. Salah satu isu kebijakan saat ini adalah
sejak diterbitkan tahun 2017 hingga saat ini, pemerintah belum pernah mengubah
besaran HPP dan HET. Sejak Mei 2017, Pemerintah
menetapkan HPP sebesar Rp 9.100/kg, sementara HET sebesar Rp 12.500/kg.
Dalam implementasinya,
terdapat beberapa isu yang perlu mendapat perhatian. Pertama, selama tiga tahun
tidak ada penyesuaian HPP, padahal harga input seperti upah tenaga kerja dan
harga sarana produksi pertanian termasuk biaya transportasi terus meningkat.
Hal ini menimbulkan masalah karena HPP tersebut lambat laun sudah tidak sesuai
dengan biaya produksi gula petani sehingga berpotensi merugikan petani dan
industri gula secara umum. Hal ini
dikhawatirkan mengurangi minat petani menanam tebu sehingga akan membuat
produksi gula menurun dan pada akhirnya impor gula meningkat.
Kedua, HET dinilai tidak sepenuhnya
efektif karena adanya tekanan pada harga eceran yang mau tidak mau harus meningkat
sejalan dengan peningkatan biaya produksi dan harga lelang gula. Sebagai
contoh, walaupun harga stabil, harga rata-rata eceran pada bulan Mei-Juli
adalah Rp 15.179 per kilogram atau sekitar 21% lebih tinggi dari HET (BPS, 2017).
Pedagang menilai sulit mencapai harga HET sebesar Rp 12.500/kg jika harga
lelang sudah diatas Rp 10.500 per kilogram. Sebagai akibatnya harga gula memang stabil, namun di
tingkat yang tinggi sehingga konsumen tetap belum terlindungi oleh kebijakan
harga tersebut.
Masalah lain yang juga
terkait adalah belum ada mekanisme yang baku dan disepakati dalam penentuan HPP
dan HET, terutama HPP. Pemegang
kebijakan terkait belum sepakat dan konsisten menerapkan penentuan HPP. Hasil survei besaran HPP yang dikoordinasikan
oleh Kementerian Pertanian, tidak punya fungsi yang jelas dalam penentuan HPP
yang ditetapkan Kementerian Perdagangan.
Ada kalanya, usulan HPP usulan Kementerian Pertanian sangat
dipertimbangkan, namun sering juga tidak terlalu menentukan dalam penentuan HPP
oleh Kementerian Perdagangan. Dengan
latar belakang masalah-masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah
sebagai berikut:
a)Mengevaluasi
kelayakan HPP dan HET yang kini diterapkan oleh pemerintah berdasarkan
Peraturan Menteri perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017;
b)Mengevaluasi
metode penentuan HPP dan HET yang kini diterapkan yang pada dasarnya melalaui
rapat koordinasi.
c)Merumuskan
usulan besaran HPP dan HET yang layak dan mekanisme perbaikan penentuannya HPP
dan HET
a.Mengacu
kepada perhitungan Harga acuan pembelian di petani sebelumnya, maka harga acuan
pembelian yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan Harga acuan yang
wajar sekitar Rp 10.870/kg. Jika
ditambahkan dengan biaya distribusi sekitar 25%, maka harga acuan penjualan di
konsumen yang terbentuk di pasar berkisar antara Rp 13.500/kg- Rp 14.000/kg. Kondisi ini membuat pedagang akan kesulitan
memenuhi harga acuan tersebut sehingga memicu munculnya harga jual diatas harga
acuan sesuai Permendag 07/2020.
b.Biaya
distribusi antar wilayah di Indonesia sangat beragam, sehingga harga acuan
nasional yang berlaku sama untuk seluruh wilayah di Indonesia akan semakin sulit
diterapkan. Daerah dengan biaya distribusi tinggi seperti Kawasan Timur
Indonesia dengan infrastruktur transportasi yang kurang memadai membuat biaya
distribusi jauh lebih tinggi dibandingkan di wilayah Jawa dan sekitarnya. Sebagai akibatnya, untuk wilayah-wilayah
tersebut, harga eceran akan melampaui harga acuan sehingga dapat dikatakan
bahwa harga acuan tidak efektif diterapkan.
Berdasarkan
uraian diatas, maka rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan yaitu Kementerian
Perdagangan perlu merevisi Permendag No 7/M-DAG/PER/2/2020 untuk mencapai tingkat harga acuan penjualan di konsumen yang dinilai
cukup efektif adalah pada kisaran Rp 13.500 - Rp 14.000/kg pada tahun 2020. Selanjutnya, agar implementasi harga acuan
berjalan lebih efektif di seluruh wilayah Indonesia, maka Kementerian
Perdagangan diusulkan untuk dapat menerapkan harga acuan pembelian di konsumen berdasarkan
wilayah (harga acuan regional), dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a.Harga
acuan penjualan di konsumen secara regional disusun dengan mempertimbangkan
variasi biaya distribusi dari pemasok ke masing-masing wilayah.
b.Biaya distribusi dimaksud diatas perlu ditetapkan
berdasarkan kajian ilmiah dan mendapatkan masukan dari pemerintah daerah
setempat.
c.Evaluasi terhadap harga acuan tersebut dapat dilakukan
secara berkala (setiap tahun) dengan mempertimbangkan perubahan Harga acuan
pembelian di petani dan perubahan biaya distribusi.