ANALISIS
PENGEMBANGAN SNI DALAM RANGKA PENGAWASAN BARANG BEREDAR
Dalam era perdagangan bebas, peraturan teknis yang
terkait dengan peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu
negara harus mengacu dan memenuhi standar internasional. Dengan pemenuhan
standar, produk lokal diharapkan bisa menembus pasar luar negeri dengan tingkat
daya saing yang lebih tingi. Selain itu, pemenuhan standar juga dapat
menguntungkan konsumen dalam hal kualitas, harga barang yang kompetitif, serta
keamanan penggunaan barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)
atau standar internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi
Nasional. Instrumen perdagangan non-tariff mengedepankan pemenuhan komitmen
dalam World Trade Organization (WTO) yang disepakati dalam Technical Barriers
to Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal penting, yaitu: peraturan teknis atau
regulasi, standar dan penilaian kesesuaian (Standards and Conformity Assesment
atau SCA). Instrumen tersebut bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen agar
memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu, namun
juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan, keselamatan, keamanan dan
lingkungan (K3L). Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah
menetapkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yang diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan No.
20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar
yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan tersebut
dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan instrumen
Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang impor.
Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau jasa juga
diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang
dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri Perindustrian No.
86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.
Hasil Pengawasan pada tahun 2012, terdapat 621
jenis produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana
31% dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan
teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari
impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang
yang melanggar ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat
listrik, 20% barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta
sisanya adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan
Barang Tekstil (TPT). Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak
memenuhi unsur K3L, pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong
penerapan SNI Wajib, dengan memperhatikan kepentingan pelaku usaha dalam
negeri. Terkait hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan
pengawasan barang beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap
tahunnya sebagai upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen. Hal
tersebut juga bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang
pemberlakuan SNI secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk. Namun,
hingga saat ini pemberlakuan SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta ini dirasakan
kurang memadai untuk menghambat laju produk impor, sehingga untuk mempercepat
pelaksanaan pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan difokuskan pada upaya
untuk pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI yang diberlakukan
secara wajib.
Rekomendasi
:
1.Dari sisi biaya, guna mendukung pemberlakuan SNI
wajib atas produk lemari pendingin, mesin cuci, dan Pendingin Udara, perlu
dilakukan harmonisasi biaya pengujian produk maupun biaya pemrosesan SPPT SNI.
Hal ini dikarenakan tingginya variabilitas biaya pengujian oleh masingmasing
laboratorium uji dan biaya penerbitan SPPT SNI oleh masing-masing LSPro.
2.Dari sisi waktu uji dan penerbitan SPPT SNI,
perlu juga dilakukan penyeragaman standar waktu pengujian hingga penerbitan
SPPT SNI oleh Laboratorium Uji dan LSPro. Hal ini perlu dilakukan untuk
memudahkan produsen agar tidak kehilangan moment penjualan produk.
3.Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana
pengujian SNI dapat diatasi melalui kerjasama bantuan dengan pihak lain. Dalam
hal ini, skema pinjaman yang dilakukan oleh P2SMTP LIPI dapat dijakdikan
referensi untuk pengembangan sarana dan prasarana pengujian SNI yang berskala
nasional. Hal ini juga perlu didkukung dengan kejelasan waktu penerapan SNI
wajib, termasuk kepastian penunjukan laboratorium uji.
4.Penyeragaman standar dan persepsi antar
laboratorium uji dan LSPro perlu dillakukan agar tidak menimbulkan bias
terhadap hasil uji. Dalam hal ini, Pemerintah perlu memastikan bahwa forum
komunikasi antara LSPro dan Lab uji berjalan dengan baik.
5.Dari
sisi pengawasan, kode produk, tanggal, dan tahun pembuatan harus dijadikan
landasan pengawasan barang beredar agar sesuai dengan waktu berlakunya
peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakuan SNI wajib atas produk
mesin cuci, lemari pendingin dan Pendingin Udara. Selain itu, petugas pengawas
juga harus memahami juknis mengenai ketentuan produk yang akan diawasi SNI-nya berdasarkan kode HS masing-masing
produk agar tidak terjadi kesalahpahaman.
6.Edukasi
konsumen terhadap pentingnya mengkonsumsi produk-produk berSNI perlu dilakukan.
Hal ini disamping konsumen dapat terlindung dari produk-produk berbahaya, juga
dapat membatasi peredaran produk-produk illegal, untuk itu produsen perlu untuk
mencantumkan tanda logo SNI pada tempat yang mudah dibaca oleh konsumen.