Dalam lima tahun terakhir (2015-2019) total impor meningkat dengan tren pertumbuhan rata-rata sebesar 7,2% per tahun yang dipengaruhi oleh impor Barang Konsumsi, Bahan Baku Penolong, dan Barang Modal dengan tren peningkatan masing-masing sebesar 11,8%, 6,8%, dan 6,5% rata-rata per tahun. Pada tahun 2019 nilai impor tercatat sebesar USD 171,3 miliar, didominasi oleh Bahan Baku Penolong dengan nilai mencapai USD 126,4 miliar atau pangsa mencapai 73,8% terhadap total impor Indonesia. Besarnya pangsa impor Bahan Baku Penolong tersebut mengindikasikan bahwa secara keseluruhan industri manufaktur nasional masih tergantung dengan ketersediaan bahan baku penolong asal impor.
Impor Bahan Baku Penolong didominasi oleh kelompok bahan baku (olahan) untuk industri dengan pangsa mencapai 36,0% dari total impor bahan baku penolong tahun 2019, disusul oleh kelompok suku cadang dan perlengkapan barang modal dengan pangsa sebesar 11,1%. Tren impor kelompok bahan baku penolong hampir seluruhnya menunjukkan kenaikan selama periode 2015-2019, dengan rata-rata kenaikan impor terbesar adalah untuk kelompok suku cadang dan perlengkapan alat angkutan yang impornya naik rata-rata sebesar 10,2% per tahun. Sementara kelompok bahan bakar dan pelumas (belum diolah) menunjukkan penurunan impor rata-rata sebesar 0,7% per tahun selama periode 2015-2019. Pengembangan industri manufaktur diprioritaskan pada industri yang berkonstribusi besar terhadap peningkatan ekspor, kedepan terus dikembangkan ekspor industri substitusi impor yang dapat diolah di dalam negeri sehingga tidak banyak menguras devisa untuk keperluan impor.
Pemerintah berupaya untuk terus memberikan kemudahan impor bahan baku penolong sebagai salah satu upaya mendorong ekspor manufaktur Indonesia. Mengingat besarnya peran bahan baku penolong bagi sektor industri manufaktur nasional dan pentingnya peran sektor industri manufaktur bagi Indonesia, maka pemerintah dipandang perlu untuk terus meningkatkan kinerja sektor tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan komitmen Kementerian Perdagangan untuk menjalankan arahan Presiden dalam melakukan relaksasi ekspor dan impor yang berorientasi mendorong penguatan industri dan kinerja ekspor serta strategi mencapai target pertumbuhan ekspor.
Analisis Identifikasi Bahan Baku Impor untuk Mendorong Ekspor Manufaktur ini bertujuan untuk melakukan pemetaan bahan baku penolong asal impor untuk mendorong ekspor manufaktur. Hal ini penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi pimpinan untuk menentukan impor bahan baku penolong yang krusial diberikan kemudahan agar dapat mendorong kinerja ekspor sektor industri manufaktur nasional. Pemetaan impor bahan baku penolong dilakukan dengan pendekatan metode analisis deskriptif kuantitatif. Dalam menetapkan kelompok produk difokuskan pada kelompok produk unggulan ekspor produk manufaktur yang menjadi program pemerintah untuk didorong ekspornya, yaitu produk pada lima sektor industri manufaktur yang menjadi prioritas dalam peta jalan penerapan industri 4.0 di Indonesia, yang meliputi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Produk Kimia, Otomotif, Elektronik, serta Makanan dan Minuman Olahan.
Dari hasil pemetaan, disimpulkan bahwa kontribusi impor bahan baku penolong TPT sebesar 88,1% dari total impor sektor TPT tahun 2019. Impor bahan baku penolong TPT didominasi oleh bahan baku berupa Kain. Kain lainnya seperti Kain katun baik rajutan atau bukan rajuan serta Kain polyesters dan Serat Kapas memberikan kontribusi yang cukup besar. Selain kapas, serat, benang, dan kain, bahan baku sektor TPT juga terdiri dari Kancing & Resleting serta Benang Karet.
Sementara itu, kontribusi impor bahan baku penolong Produk Kimia sebesar 100% dari total impor sektor Produk Kimia tahun 2019. Impor Produk Kimia didominasi oleh Berbagai produk kimia lainnya (seperti supported catalyst, Acetone Oil, dan Anti Oxiding prep for rubber or plastic), Bahan kimia anorganik lainnya (seperti Disodium carbonate, Colloidal precious metals, dan Sodium hydroxide), dan Hidrokarbon siklik.
Kontribusi impor bahan baku penolong Otomotif sebesar 65,9% dari total impor sektor Otomotif tahun 2019. Impor bahan baku penolong sektor Otomotif terbesar berupa Gear boxes. Impor bahan baku penolong berupa suku cadang juga mempunyai kontribusi yang cukup besar, yakni berupa impor Suku cadang mesin diesel, Suku cadang mesin bensin, dan Suku cadang kendaraan (IKD). Selain dari komponen suku cadang, impor bahan baku sektor otomotif juga terdiri dari produk elektrik seperti Accu, produk karet seperi Ban dan bahan aksesoris serta pelindung, produk besi baja seperti pegas dan rantai, serta produk kaca seperti spion dan kaca pelindung.
Kontribusi impor bahan baku penolong Elektronik sebesar 56,3% dari total impor sektor Elektronik tahun 2019. Impor bahan baku penolong Elektronik didominasi oleh bahan baku berupa Suku Cadang, dimana suku cadang telephone selular serta Suku cadang IC, Dioda, transistor dan semikonduktor lainnya memberikan kontribusi terbesar.
Sementara itu, kontribusi impor bahan baku penolong Makanan dan Minuman Olahan sebesar 78,7% dari total impor sektor Makanan dan Minuman Olahan tahun 2019. Impor bahan baku penolong Makanan dan Minuman Olahan didominasi oleh bahan baku berupa Gandum, Gula mentah (raw sugar) dan susu bubuk. Diantara keempat sektor lainnya, impor bahan baku di sektor Makanan dan Minuman Olahan lebih beragam, yakni dari berbagai jenis bahan baku hewani seperti daging, ikan, dan unggas; berbagai jenis bahan baku nabati seperti buah, sayur, rempah, komoditi pangan; bahkan juga produk setengah jadi seperti tepung, susu bubuk, dan coklat.
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi antara impor bahan baku kelima sektor yang mendukung industri 4.0 dengan kinerja ekspornya, menunjukkan bahwa ekspor sektor kelima sektor tersebut (TPT, Produk Kimia, Otomotif, Elektronik, dan Makanan & Minuman Olahan) memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap impor bahan baku, dengan nilai korelasi lebih dari 60%. Dari hasil analisis direkomendasikan untuk memberikan kemudahan bagi impor bahan baku penolong, terutama bagi sektor yang memiliki ketergantungan impor yang tinggi, dengan tetap mempertimbangkan penggunaan bahan baku dalam negeri sebagai upaya substitusi impor.