ANALISIS
RANTAI PASOK UBI KAYU DI LAMPUNG DAN JAWA TIMUR
Ubi kayu atau singkong merupakan komoditas
yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Ubi kayu sebagai tanaman
yang sudah dikenal dengan baik oleh petani, dapat dibudidayakan dengan mudah
dimana memiliki fleksibilitas dalam usaha tani dan umur panen. Lahan untuk
tanaman ubi kayu tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan intensif
seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya seperti sayuran. Permintaan
pasar akan produk ubi kayu dalam berbagai bentuk, mulai dari bahan mentah,
gaplek, tepung gaplek, tepung tapioka, juga sebagai bahan baku ethanol.
Kebutuhan berbagai jenis industri yang memanfaatkan ubi kayu sebagai bahan baku
cukup besar karena ubi kayu dapat menghasilkan hingga 14 macam produk turunan
yang digunakan oleh industri makanan, industri farmasi, industri kimia,
industri bahan bangunan, industri kertas dan Industri biofuel. Sedangkan dari
segi teknologi pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan ataupun sebagai bahan
bakar bukanlah sebuah teknologi baru. Menurut Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (KADIN, 2010), ubi kayu telah menjadi salah satu komoditas penting di
pasar internasional termasuk di Indonesia dengan tiga kelompok besar penggunaan
yaitu ubi kayu untuk makanan, ubi kayu untuk pakan ternak, dan ubi kayu untuk
industri. Permintaan akan berbagai produk turunan ubi kayu dunia juga meningkat
dari waktu ke waktu, terutama untuk pembuatan bio-ethanol di negara-negara
seperti RRT, Korea, Jepang, dan Eropa.
Pasokan
ubi kayu menurut Kementerian Pertanian mengalami surplus walaupun juga diikuti
dengan naiknya permintaan oleh industri pengolahan. Seharusnya kondisi ini
dapat mempertahankan harga agar tidak anjlok. Akan tetapi, petani ubi kayu di
beberapa daerah, khususnya Lampung dan Jawa Timur sebagai sentra produksi ubi
kayu terbesar, mengeluhkan bahwa hasil panen ubi kayu mereka hanya dihargai
kisaran Rp 400 – Rp 600 per kg. Harga tersebut jauh lebih rendah dari pada
harga keekonomian yaitu sekitar Rp 1.000 per kg. Rendahnya harga ubi kayu di
tingkat petani sudah dikeluhkan sejak akhir tahun 2016 oleh petani di beberapa
wilayah sentra produksi ubi kayu di Indonesia (Kompas, 2017). Di sisi lain,
perkembangan impor ubi kayu segar dan olahan menunjukkan tren positif merupakan
indikasi bahwa permintaan akan ubi kayu dan olahannya mengalami peningkatan.
Permintaan ubi kayu terutama berasal dari sektor industri tapioka sebagai
pengguna ubi kayu terbesar. Dengan pasokan dalam negeri yang
Potensi pengembangan komoditi ubi kayu di
Indonesia dapat tercermin dari data historis perkembangan produksi, konsumsi,
serta ekspor dan impor. Secara umum, dari data yang ada dapat dikatakan bahwa
komoditas ubi kayu di Indonesia memiliki potensi untuk dapat terus dikembangkan.
Produksi ubi kayu Indonesia menunjukkan
penurunan untuk periode enam tahun terakhir yaitu tahun 2012 – 2017. Pada tahun
2012, produksi ubi kayu Indonesia mencapai 24,17 juta ton. Namun pada tahun
2016 produksi ubi kayu Indonesia hanya sebesar 20,26 juta ton, dimana terjadi
penurunan produksi sebesar 16,2 persen jika dibandingkan dengan produksi tahun
2012 dan turun sebesar 7,1 persen jika dibandingkan dengan produksi tahun 2015.
Pada tahun 2017, berdasarkan angka ramalan (aram) yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2017) Kementerian Pertanian, produksi ubi
kayu diperkirakan mencapai 20,4 juta ton. Perkiraan jumlah produksi ubi kayu
tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 0,7 persen jika dibandingkan dengan
produksi ubi kayu tahun 2016. Namun jika produksi ubi kayu tahun 2017
dibandingkan dengan produksi ubi kayu tahun 2012 maka terjadi penurunan
produksi sebesar 15,6 persen
Kecenderungan penurunan juga terjadi pada
perkembangan luasan panen ubi kayu di Indonesia pada periode tahun 2012 – 2017
(Tabel 4.1). Luas panen ubi kayu di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 1,1 juta
hektar. pada tahun 2016, luasan panen ubi kayu mencapai sebesar 822,7 juta
hektar, dimana luas panen ubi kayu turun cukup signifikan sebesar 27,2 persen
jika dibandingkan dengan luas panen di tahun 2012. Sedangkan jika dibandingkan
dengan luas panen tahun 2015, maka pada tahun 2016 terjadi penurunan luas panen
sebesar 13,4 persen. Pada tahun 2017 luas panen ubi kayu berdasarkan aram
adalah sebesar 839,5 ribu hektar, dimana diperkirakan mengalami peningkatan
sebesar 2,0 persen jika dibandingkan dengan luas panen di tahun 2016. Namun
jika dibandingkan dengan luasan panen ubi kayu di tahun 2012, maka luas panen
di tahun 2017 mengalami penyusutan yang signifikan yaitu mencapai 25,7 persen.
Lampung dan Jawa Timur sebagai wilayah
penghasil ubi kayu utama di Indonesia memiliki rantai pasok yang relatif pendek
jika dibandingkan dengan produk pertanian yang lain. Ubi kayu yang dihasilkan
terutama digunakan sebagai bahan baku industri tapioka. Dari penelusuran yang
ada, industri pengolahan ubi kayu lain seperti industri gaplek dan tepung
gaplek tidak cukup berkembang karena pasarnya tidak cukup besar. Selain itu
teknologi pengolahan tepung tapioka sistem kering dengan menggunakan gaplek
belum berkembang. Gaplek sendiri menurut petani diproduksi untuk mengawetkan
surplus produksi ubi kayu yang tidak bisa terserap oleh industri pengolah ubi
kayu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil
analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Produksi dan luas panen ubi kayu di
Indonesia cenderung mengalami penurunan, dimana jumlah produksi yang sangat
tergantung musim. Harga ubi kayu tahun 2015-2016 di tingkat produsen
berdasarkan data BPS pada tiga wilayah produsen utama di Indonesia memperlihatkan
bahwa wilayah Jawa Timur mendapatkan harga ubi kayu yang paling tinggi
dibandingkan dengan harga di wilayah Jawa Tengah dan Lampung. Sementara, volume
impor dan nilai impor ubi kayu Indonesia dan turunannya juga menunjukan tren
yang positif untuk periode tahun 2012 – 2016. 2. Rantai pasok ubi kayu dari
petani ke industri tepung tapioka di wilayah Lampung relatif pendek dengan
maksimal empat pelaku dan dua saluran utama. Saluran pertama adalah petani –
pedagang pengumpul/ pelapak – industri tapioka. Saluran kedua adalah petani –
industri tepung tapioka. Sementara, rantai pasok ubi kayu dari petani ke
industri tepung tapioka di wilayah Jawa Timur juga relatif pendek dengan
maksimal empat pelaku dan dua saluran utama. Saluran pertama adalah petani – pedagang
pengepul – pedagang besar – industri tapioka. Saluran kedua adalah petani –
pedagang besar – industri tepung tapioka. 3. Alur produk, finansial dan alur
informasi antar pelaku dalam rantai pasok ubi kayu relatif lancar dan tidak
mengalami hambatan berarti. Pabrik pengolahan tapioka berperan sebagai penentu
dalam penilaian kualitas ubi kayu dan penentu besaran rafraksi sehingga
mempengaruhi besaran pengurangan berat dari pembelian ubi kayu di pabrik. Oleh
karena itu, harga yang tercatat tidak mencerminkan nilai riil yang diterima
petani atau penjual ubi kayu kepada pabrik karena adanya faktor pengurang atau
rafaksi. Dengan demikian, rendahnya harga ubi kayu yang diterima oleh petani
lebih disebabkan oleh rafaksi. 4. Pengolahan tepung tapioka di wilayah Lampung
memiliki nilai tambah yang lebih baik dibandingkan di wilayah Jawa Timur. Hal
ini terutama terjadikarena harga input bahan baku utama yaitu ubi kayu di wilayah
Lampung relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harga input bahan baku
yang diperoleh industri tepung tapioka di Jawa Timur. 5. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa nilai tambah pada pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka
sangat rendah. Oleh karena itu untuk memaksimalkan keuntungan, pengusaha harus
berproduksi pada skala usaha yang besar
Berdasarkan hasil analisis rantai pasok dan
perhitungan nilai tambah, dapat disimpulkan bahwa tidak ada masalah mendasar
terhadap rantai distribusi ubi kayu dan nilai tambah ubi kayu ke tepung tapioka
masih rendah. Oleh karena itu beberapa rekomendasi yang diusulkan adalah: 1.
Pengaturan pola tanam dan pengembangan bibit unggul yang mampu mengatasi
kelangkaan produksi di luar musim panen ubi kayu melalui perumusan kebijakan
yang dilakukan secara kolaboratif, dengan melibatkan pihak-pihak yang berada di
rantai pasok ubi kayu terutama para petani dan produsen tepung singkong. 2.
Kementerian Pertanian serta instansi terkait lainnya supaya dapat membuat
penetapan aturan dan kriteria penentuan rafaksi yang transparan sehingga tidak
ada pihak yang dirugikan, khususnya dari pihak petani. 3. Pembinaan dan
pengembangan sumber daya rantai pasok melalui Gapoktan dan atau koperasi untuk
dapat meningkatkan konsolidasi dalam penjualan dan memberikan nilai tawar yang
lebih baik. 4. Pemberian dukungan dan pembinaan baik dari sisi finansial maupun
teknologi dalam pengembangan industri olahan ubi kayu agar dapat memenuhi
permintaan industri lanjutan dan meningkatkan nilai tambah. 5. Perlu dikaji
lebih lanjut kemungkinan penetapan harga acuan pemerintah untuk pembelian di
tingkat petani dalam bentuk Harga Pembelian Petani (HPP) ubi kayu