ANALISIS
PERMASALAHAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
Dalam kegiatan perdagangan terdapat interaksi
yang saling membutuhkan dan kontinu antara pelaku usaha dengan konsumen. Pelaku
usaha memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari
transaksi dengan konsumen, sedangkan di sisi lain, konsumen berkepentingan
untuk memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap barang atau
jasa yang dibeli. Dengan kata lain, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan
produk dengan kualitas yang baik. Akan tetapi, faktanya, seringkali terdapat
ketidaksetaraan antara keduanya di mana secara umum konsumen berada pada posisi
yang lemah sehingga seringkali dieksploitasi oleh pelaku usaha. Terkait hal tersebut,
pemerintah harus memiliki peran untuk melindungi dan memberdayakan konsumen,
salah satunya adalah dengan membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK. UUPK menegaskan bahwa
pembangunan perekonomian nasional dalam era globalisasi harus dapat mendukung
tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa
yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa
yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Pasal 23
UUPK menjelaskan bahwa apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan
tanggapan dan/atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen,
maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan
perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen. Pembentukan BPSK tercantum dalam Pasal 49 UU PK yang bertujuan untuk
menegakkan hak konsumen. BPSK memiliki fungsi untuk menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan, sehingga dapat disebut sebagai peradilan kecil (small claim
court). Dengan terbentuknya lembaga BPSK diharapkan penyelesaian sengketa
konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Hal ini disebabkan oleh
sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha memiliki nominal yang kecil
sehingga tidak mungkin mengajukan sengketa ke pengadilan apabila biaya perkara
tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. Dalam
menyelesaikan sengketa, terdapat tiga cara yang dilakukan BPSK, yaitu mediasi,
konsolidasi, dan arbitrase. Saat ini, BPSK telah dibentuk di berbagai daerah di
Indonesia, pembentukannya diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres). Sejak
pertama kali diamanatkan untuk dibentuk, sampai saat ini telah terbentuk 171
BPSK di Kabupaten/Kotamadya di Indonesia, namun tidak semua BPSK tersebut
berjalan optimal dalam melaksanakan fungsinya. Berdasarkan data dari Ditjen
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga hanya 41% atau 70 BPSk yang masih
beroperasi sampai saat ini. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang
efektifnya upaya perlindungan terhadap konsumen yang berada di daerah-daerah di
seluruh Indonesia. Untuk itu dalam rangka mengoptimalkan peran BPSK dalam
pelaksanaan perlindungan konsumen, dinilai perlu melakukan analisa Permasalahan
BPSK. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjadi landasan untuk menyusun
perencanaan dan pelaksanaan terkait fungsi BPSK yang lebih baik dimasa depan
Berdasarkan hasil analisis, maka kesimpulan
yang diperoleh antara lain: 1. Secara garis besar, permasalahan BPSK terbagi
dalam tiga permasalahan yakni: (i) permasalahan BPSK terkait hukum; (ii)
permasalahan terkait dukungan operasional BPSK; dan (iii) kapasitas sumber daya
manusia. 2. Permasalahan BPSK terkait hukum antara lain: (i) belum tersedia SOP
pelaksanaan tugas BPSK; (ii) belum optimalnya pengaturan BPSK dengan pihak
lain; (iii) belum adanya pengawasan untuk BPSK; (iv) belum ada ketentuan
tentang tata cara pelaksanaan eksekusi putusan BPSK; (v) kewenangan
perlindungan konsumen menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah; (vi) BPSK tidak dapat menghadirkan pelaku usaha secara paksa; (vii)
putusan BPSK masih dapat diajukan keberatan; (viii) sengketa tidak bisa
diselesaikan di BPSK apabila ada salah satu pihak yang keberatan; dan (ix)
penyelesaian sengketa tidak dapat diteruskan di BPSK apabila tidak ada
kesepakatan penggunaan cara penyelesaian sengketa. 3. Permasalahan BPSK terkait
dengan dukungan operasional BPSK antara lain adalah: (i) fasilitas kantor
kurang mendukung; (ii) tidak ada kendaraan operasional; (iii) tidak ada
anggaran untuk menghadirkan pelaku usaha; dan (iv) anggaran untuk eksekusi
putusan BPSK atau putusan pengadilan tidak tersedia. 4. Permasalahan terkait
dengan sumber daya manusia antara lain adalah: (i) jumlah panitera kurang; (ii)
klasifikasi panitera yang kurang baik; (iii) pengetahuan anggota BPSK akan tugas
dan wewenang BPSK masih kurang; (iv) kualifikasi Pendidikan anggota BPSK masih
kurang; (v) latar belakang anggota BPSK kurang mendukung; (vi) pengetahuan
anggota BPSK akan metode penyelesaian sengketa oleh BPSK masih kurang; (vii)
pengetahuan anggota BPSK akan UU – PK; (viii) anggota BPSK hanya sedikit yang
memiliki sertifikat mediator; dan (ix) anggota BPSK yang merupakan PNS Pemda
kabupaten/kota tidak diberikan izin oleh atasan untuk menjalankan tugas sebagai
anggota BPSK.
Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut, maka
beberapa rekomedasi yang dapat disampaikan antara lain:
1.Menerbitkan
peraturan menteri untuk mengatur tata cara (SOP) pelaksanaan tugas dan wewenang
BPSK sejak penanganan penerimaan pengaduan sampai dengan eksekusi hasil
keputusan BPSK. Proses pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK yang tertuang dalam
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seringkali
mengalami kendala karena masih belum adanya kejelasan mengenai prosedur
pelaksanaan wewenang BPSK, seperti proses menghadirkan pelaku usaha, koordinasi
dengan instansi lain, pengambilan keputusan anggota BPSK, eksekusi putusan
BPSK, dan proses lainnya. Oleh karena itu perlu diterbitkan adanya pengaturan
tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK.
2.Mengadakan
pendidikan dan pelatihan untuk para anggota dan petugas sekretariat BPSK. Untuk
meningkatkan kapasitas dan kemampuan dari para anggota BPSK dan petugas
sekretariat BPSK dalam melaksanakan tugas BPSK secara efektif dan efisien, maka
25 Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan, 2018 Ditjen PKTN harus secara
rutin melakukan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota dan petugas
sekretariat BPSK.
3.Menerbitkan Surat
Edaran Menteri Perdagangan kepada seluruh Bupati/Walikota untuk menyediakan SDM
dan kantor untuk pelaksanaan tugas BPSK. Meskipun anggaran operasional BPSK
berasal dari APBD Provinsi, namun dalam pelaksanaan tugasnya BPSK membutuhkan
sumber daya manusia yang berasal dari Kotamadya/Kabupaten terkait. Jarak yang
jauh antar Kotamadya/Kabupaten tidak memungkinkan untuk menggunakan sumber daya
manusia atau fasilitas kantor yang berasal dari provinsi.
4.Perlu diterbitkan pengaturan pembentukan dan pelaksanaan BPSK oleh
Pemerintah Daerah dengan didukung oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri. Untuk
meningkatkan peran serta Pemerintah Daerah dalam menyediakan anggaran maupun
dukungan operasional pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK, maka Pemerintah
Daerah perlu didorong oleh Kementerian Dalam Negeri untuk membentuk BPSK dan
mendukung pelaksanaan tugas BPSK secara konsisten.