Subsidi pupuk merupakan
salah satu instrumen untuk meningkatkan produktivitas, produksi dan
kesejahteraan petani seperti tertuang dalam Permendag No 15/M-DAG/PER/4/2013
tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian serta
Permentan No 1 tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk
Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2020. Dalam pelaksanaannya, masih
terdapat permasalahan di penyaluran pupuk bersubsidi dari produsen hingga konsumen
pengguna (kelompok tani) di beberapa wilayah, diantaranya kelangkaan pasokan
akibat keterlambatan distribusi. Hasi
penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pendistibusian pupuk bersubisidi belum
berjalan efektif karena dalam program subsidi pupuk terdapat tiga permasalahan
penting, yaitu: 1) penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi, 2) kesenjangan
antara ketersediaan dan kebutuhan, dan 3) bias sasaran/target sehingga
menurunkan efektivitasnya dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
petani. Lampung merupakan salah satu
wilayah di Indonesia dengan sistem pertanian yang cukup berkembang dengan
potensi lahan pertanian yang cukup luas. Dengan potensi ini, alokasi pupuk
subsidi untuk Lampung juga memiliki porsi terbesar ketiga setelah pulau Jawa. Beberapa regulasi telah dikeluarkan dalam
rangka efektivitas penyaluran pupuk, namun seringkali terjadi kelangkaan ketika
pupuk bersubisdi dibutuhkan. Evaluasi terhadap sistem pendistribusian pupuk
bersubsidi penting dilakukan agar tercipta pola distribusi pupuk bersubsidi
yang adil bagi produsen, distributor dan petani/ kelompok tani serta dapat
meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani.
Studi ini bertujuan untuk
menganalisis tingkat efektivitas dan permasalahan pendistribusian pupuk bersubsidi
untuk kasus di Lampung serta usulan dan rekomebdasi kebijakan terkait mekanisme
penditribusian pupuk bersubsidi. Metode
analisis yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif kuantitatif menggunakan
7T indikator efektivitas yaitu tepat (harga, waktu, jumlah, mutu, tempat, jenis
dan sasaran) dalam skala Likert serta Structure Conduct Performance
(SCP) untuk melihat permasalahan atau hambatan dalam mekanisme distribusi pupuk
bersubsidi. Hasil analisis menunjukkan tingkat
efektivitas pendistribusian pupuk bersubsidi dengan menggunakan kriteria 7
tepat memiliki skor rata-rata 2,7, dari skor maksimum sebesar 4. Hal ini
berarti tingkat efektivitas berada pada tingkat antara kurang tepat (skor 2)
dan tepat (skor 3). Nilai masing-masing indikator adalah tepat mutu (3,4),
tepat tempat (3,2), tepat sasaran (2.9), tepat jenis pupuk (2,8), tepat harga
(2,6), tepat waktu (2,3), dan tepat jumlah (1,9). Hal ini berarti bahwa sistem
distribusi pupuk yang kini berjalan memiliki efektivitas yang rendah untuk
tepat harga, tepat waktu, dan tepat jumlah.
Permasalahan utamanya adalah masih rendahnya akurasi sistem eRDKK, tingginya
variasi biaya transportasi antar daerah dari lokasi kios ke petani, moral
hazard, pengawasan & monitoring belum efektif khususnya pada titik
penyaluran antara kios dengan petani, serta keterbatasan pendanaan petani dalam
menebus pupuk bersubsidi secara langsung sehingga tergantung pada kelompok
tani.
Implikasi kebijakan yang
dapat disampaikan untuk meningkatkan efektifitas pendistribusian pupuk
bersubsidi, khususnya di Lampung adalah (1)
melakukan revisi terhadap regulasi yang sudah ada yaitu Permentan No 4/2019
terkait tugas PPL menjadi “menyusun dan memproses pengiriman RDKK, sementara
fungsi petani adalah membantu terutama dalam menyediakan data yang akurat”.
Dengan demikian, pemerintah pusat atau daerah wajib menyediakan sumberdaya
untuk PPL dalam menyusun RDKK; (2) dapat meningkatkan jumlah, status
kepegawaian, dan honorarium PPL secara bertahap; (3) melakukan revisi HET pupuk
bersubsidi dengan menaikkan HET antara 15%-20% untuk mengakomodasikan perbedaan
biaya tranportasi; (4) meningkatkan jumlah petani sasaran yang menerima pupuk
bersudsidi. Hal ini dapat diwujudkan antara lain dengan mengurangi nilai
subsidi per kg pupuk sehingga volume pupuk bersubsidi dan jumlah petani yang
menerima subsidi dapat ditingkatkan; (5) memastikan ketersediaan dana untuk
menebus pupuk bersubsidi. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan petani
secara bertahap manabung dana untuk penebusan atau membantu petani dalam akses
kredit melalui program Kartu Petani Berjaya (KPB); (6) memperkuat proses
pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi terutama pada tingkat pengecer/kios
untuk memastikan bahwa pupuk bersubsidi disalurkan pada yang berhak. Hal ini
dapat dilakukan dengan memperkuat penerapan semacam “kartu kendali” yang
memastikan bahwa petani-petani yang menerima adalah petani yang berhak; dan (7)
menerapkan program KPB secara lebih luas untuk meningkatkan transparansi dan
kecepatan proses pembayaran dan penyaluran pupuk bersubsidi. Dalam jangka panjang, opsi kebijakan subsidi
pupuk digantikan dari in nature menjadi
in cash dapat menjadi pertimbangan dan diperlukan penelitian lebih
lanjut.