ANALISIS
PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM PENGEMBANGAN UMKM
Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau lebih
sering dikenal UMKM dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting.
Ketika terjadi krisis yang melanda pada tahun 1998, usaha berskala kecil dan
menengah yang relatif mampu bertahan dibandingkan perusahaan besar. Alasannya
karena mayoritas usaha berskala kecil tidak terlalu tergantung pada modal besar
atau pinjaman dari luar dalam kurs dollar. Sehingga, ketika ada fluktuasi nilai
tukar, perusahaan berskala besar yang secara umum selalu berurusan dengan mata
uang asing adalah yang paling berpotensi mengalami imbas krisis. Beberapa
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa struktur modal UKM khususnya
diIndonesia, hampir sebagian besar berdasar pada investasi pribadi. Sangat
sedikit, mereka yang berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan dana.
Jika mereka membutuhkan suntikan dana dari pihak luar, justru pihakpihak
penyedia dana selain bank, yang sangat berperan. Misal bank-bank perkreditan
rakyat atau malah rentenir. Seperti yang kita ketahui pula, bunga yang
dikenakan pada peminjam adalah sangat tinggi dan mencekik leher. Jelas, kondisi
seperti ini tidak akan terjadi untuk perusahaan berskala besar.
Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) terbukti merupakan penggerak utama sektor riil yang berpengaruh langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah, jumlah UMKM pada tahun 2011 sebanyak 55,2 juta
unit dengan terbagi sebagai berikut 54.559.969 unit Usaha Mikro, 602.195 unit
Usaha kecil dan 44.280 unit Usaha Menengah. Jumlah UMKM pada tahun 2011 adalah
sekitar 99,99 persen dari jumlah total unit usaha yang ada,
Unit-unit tersebut diperkirakan mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 97,24 persen. Namun demikian perkembangan UMKM umumnya
masih mengalami berbagai masalah dan belum sepenuhnya sesuai dengan yang
diharapkan, Masalah yang hingga kini masih menjadi kendala dalam pengembangan
usaha UMKM adalah keterbatasan modal yang dimiliki dan sulitnya UMKM mengakses
sumber permodalan. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang tentang Bank Indonesia
No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, kebijakan
Bank Indonesia dalam membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, Bank
Indonesia dapat memberikan bantuan keuangan kepada UMKM, yang dikenal dengan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Namun setelah undang undang tersebut
di atas diberlakukan peranan Bank
Indonesia dalam membantu usaha kecil menjadi bersifat tidak langsung dan lebih
terfokus kepada bantuan teknis serta pengembangan kelembagaan. Tugas
pengelolaan kredit program telah dialihkan kepada tiga BUMN yang ditunjuk
Pemerintah, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Tabungan Negara
(BTN), dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Dalam hal ini, PT BRI berfungsi
sebagai koordinator penyaluran skim KUT, KKop dan KKPA-TR, PT BTN sebagai
koordinator penyaluran skim KPRS dan KPRSS, sementara PT PNM sebagai koordinator
penyaluran skim kredit lainnya. Pengalihan tersebut mencakup pengelolaan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program yang masih
berjalan dan belum jatuh tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik.
Dalam Perkembangannya peran lembaga pembiayaan
dalam pengembangan UMKM ini tentu ada yang berhasil maupun tidak, maka
dilakukan analisis peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM tersebut.
Berpijak pada konteks di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang
akan diangkat dalam analisis ini, Bagaimana peran lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UMKM dan Kebijakan apa yang dapat mendukung pengembangan UMKM
Kontribusi UMKM sebesar 57,48% terhadap PDB dan
juga proporsi UMKM sebesar 99,99% (Kemenkop, 2013) dari jumlah pelaku usaha
menunjukkan eksistensi UMKM dalam menunjang perekonomian negara Indonesia.
UMKM sektor perdagangan menempati urutan kedua
setelah sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Berdasarkan
kontribusi yang diberikan, UMKM sektor perdagangan memberikan kontribusi
terhadap PDB paling besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Meskipun
demikian, dalam pengembangan usahanya, UMKM sektor perdagangan menghadapi
beberapa kendala terutama masalah permodalan.
Berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan
pembiayaan bagi UMKM telah banyak digulirkan antara lain program kredit usaha
rakyat (KUR) yang merupakan manifestasi dari MOU berbagai instansi dan juga
program BI yaitu kewajiban bagi bank untuk menggulirkan kredit usaha kecil
sebesar 20% dari total kredit pada tahun 2018.
Program-program pembiayaan yang telah dicanangkan
oleh pemerintah belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh UMKM yang
ada. Jumlah UMKM yang mendapat
bantuan pembiayaan misalnya KUR baru menyentuh 9.417.349 UMKM atau 16,66% dari
total pelaku UMKM (www.komite-kur.com). UMKM yang tidak menggunakan fasilitas
kredit tersebut menggunakan modal sendiri dalam struktur pemodalannya. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan akses dari UMKM dan sulitnya UMKM memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
Bagi UMKM yang telah mendapatkan pembiayaan juga
menghadapi masalah baru dalam hal pengelolaan keuangan. Keterbatasan
pengetahuan mengenai pembukuan dan tidak adanya pemisahan antara keuangan
pribadi dan keuangan usaha membuat kredit yang diterima tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal. Selain itu juga kurangnya inovasi dan kreatifitas
membuat UMKM sektor perdagangan kalah bersaing dengan pasar modern.
Melihat pentingnya peranan lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UMKM terutama sektor perdagangan sebagai alternatif sumber
pembiayaan maka pemerintah perlu dilakukan sosialisasi kepada UMKM tentang
eksistensi lembaga pembiayaan baik bank maupun non bank khususnya koperasi.
Selain itu, bagi lembaga pembiayan perbankan yang tidak memiliki core usaha
pada usaha mikro dapat menggunakan model pembiayaan linkage dan channeling
dengan lembaga pembiayaan lainnya.
Perlu adanya sistem informasi debitur terintegrasi
antar lembaga pembiayaan bank dan non bank untuk mencegah terjadinya pembiayaan
berulang pada UMKM yang sama yang dapat menimbulkan terjadi kesulitan
pembayaran.
Diperlukan pembentukan kemitraan antara pemerintah
pusat, daerah dan lembaga pembiayaan dalam hal memberikan bantuan teknis kepada
UMKM, sehingga pembinaan yang dilakukan dapat lebih terintegrasi. Hal ini
dilakukan untuk mempersiapkan UMKM dalam menghadapi persaingan usaha baik dari
pasar modern maupun adanya Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015.
Perlunya kebijakan yang mewajibkan UMKM untuk
mengikuti pembinaan dari lembaga pembiayaan dan menyerahkan laporan keuangan
usaha secara periodik kepada lembaga pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi terjadi penyimpangan pemanfaatan kredit yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan.