Analisis
Dampak Penerapan Harga Eceran Tertinggi Gula Terhadap
Harga
Lelang Gula Petani
Inflasi bahan makanan terutama pangan pokok di
bulan puasa dan Lebaran tahun 2017 mencapai nilai terendah dalam tiga tahun
terkahir. Salah satu instrumen kebijakan yang berperan dalam pencapaian
tersebut adalah Permendag Nomor 27/MDAG/PER/5/2017 Tentang Penetapan Harga
Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen yang didukung
dengan pemantauan harga pasar yang intensif. Peraturan ini mulai diberlakukan
per 16 Mei 2017 untuk sembilan harga komoditas bahan pokok. Ketentuan tersebut
berlaku untuk beberapa komoditi diantaranya gula dimana harga eceren tertinggi
(HET) untuk gula ditetapkan sebesar Rp 12.500/kg. Kebijakan HET bisa dikatakan
berhasil menstabilkan harga yang tercermin dari data harga gula di tingkat
eceran setelah kebijakan tersebut berlaku. Harga gula di tingkat eceran
rata-rata secara nasional pada bulan Januari 2017 mencapai Rp 14.628/kg,
sedangkan rata-rata harga gula di bulan Mei dan Juni 2017 masing-masing sebesar
Rp 13.402/kg dan Rp 13.306/kg. Terjadi penurunan harga sebesar 8,38% di bualan
Mei dan 9,04% di bulan Juni dibandingkan dengan harga di bulan Januari 2017.
Jika dibandingkan dengan harga pada bulan puasa danlebaran tahun 2016, maka
terjadi penurunan harga rata-rata di tahun 2017 sebesar 1,25%. Di balik
keberhasilan pemerintah dalam menstabilkan harga gula, kebijakan HET dinilai
sebagai penyebab rendahnya harga gula di tingkat petani. Asosiasi Petani Tebu
Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan bahwa kebijakan Harga Eceran Tertinggi
(HET) Gula sebesar Rp 12.500/Kg disinyalir sebagai penyebab jatuhnya harga gula
di tingat petani. Harga gula petani dipasar lelang ditawar lebih rendah yaitu
kurang dari Rp 10.000/kg atau dibawah biaya pokok produksi yaitu sebesar Rp
10.600/kg dan sejak awal bulan Juni 2017 lelang gula petani di beberapa wilayah
pabrik gula (PG) gagal menghasilkan transaksi atau terpaksa dilepas dengan
harga yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini
memilik tujuan untuk (a) menganalisis Dampak penerapan kebijakan harga eceran
tertinggi (HET) terhadap harga lelang gula petani serta (b) merumuskan
rekomendasi kebijakan mengenai penerapan HET. Penelitian ini menggunakan pendekatan
ekonometrika dengan model persamaan error correction model (ECM). Model ini
digunakan karena ingin melihat tidak hanya pengaruh pada waktu saat ini (jangka
pendek) tetapi melihat pengaruh jangka panjang dari penerapan kebijakan HET
terhadap harga lelang gula petani. Hasil analisis menunjukkan bahwa harga
lelang gula petani lebih ditentukan oleh harga gula impor, stok gula dan harga
lelang gula pada periode sebelumnya. Namun demikian, stok gula mempunyai
pengaruh sangat kecil terhadap harga lelang gula. Kebijakan HET dan isu
kebijakan penerapan PPn memiliki pengaruh terhadap harga lelang gula petani
dalam jangka pendek, dimana pengaruh tersebut masih lebih kecil dibandingkan
isu kebijakan penerapan PPn. Dalam jangka panjang, kebijakan HET dan isu penerapan
PPn tidak secara signifikan berpengaruh terhadap harga lelang gula. Penetapan
HET sebesar Rp 12.500/kg memang memberi tekanan pada harga gula lelang petani.
Akan tetapi, telah menurunkan margin ditingkat distributor namun harga lelang
yang ada masih memberi keuntungan yang memadai kepada petani. Masih ada Faktor
lain yang menyebabkan rendahnya harga lelang gula ditingkat petani yaitu adanya
satgas pangan serta harga gula impor yang rendah berdampak pada potensi
rembesan gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar konsumen. Berdasarkan hal
tersebut, Kebijakan HET tidak menjadi faktor penyebab rendahnya harga gula di
tingkat petani. Dengan demikian, penetapan kebijakan HET pada komoditigula dapat terus dilakukan dalam rangka stabilisasi harga dengan
melakukan evaluasi secara berkala. Pemerintah dapat mempertahankan HET gula
sebesar Rp 12.500/kg yang didukung oleh beberapa hal yaitu: (i) penangguhan
penerapan PPN gula. Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan perlu berkoordinasi
dengan Kementan dan Kemenkeu untuk memastikan bahwa pedagang atau distributor
GKP tidak memanfaatkan isu PPN gula dengan menekan harga gula di tingkat
petani, (ii) mengevaluasi adanya satgas pangan yang memberikan sanksi terkait
dengan penimbunan, melalui adanya indikator kriteria penimbunan, serta (iii)
mengeluarkan regulasi yang lebih memberikan kepastian pada petani, produsen
gula, pelaku usaha dan konsumen. Selanjutnya jika pemerintah bermaksud
meningkatkan harga gula petani namun tetap mempertahankan kebijakan HET, maka
pemerintah dapat melakukan kebijakan: (i) membeli gula petani dengan harga yang
lebih tinggi (keuntungan diatas 18,1% yang merupakan selisih antara harga
lelang dan BPP) melalui Bulog seperti yang sudah dilakukan selama ini, (ii)
menjadikan gula hasil pembelian dari petani sebagai stok gula pemerintah, yang
dapat digunakan untuk melakukan operasi pasar jika harga diatas HET atau dijual
dengan harga subsidi untuk kelompok masyarakat yang kurang mampu (targetted
subsidy) misalnya mereka yang memiliki Kartu Keluarga Sejahtera, namun negara
perlu menyediakan dana yang lebih besar untuk stabilitas harga gula. Kebijakan
ini dapat dijustifikasi karena akses terhadap pangan menentukan daya saing
generasi mendatang.