Dalam rangka meningkatkan kemudahan berusaha, Kementerian Perdagangan
melakukan pergeseran pengawasan pra pasar untuk larangan dan pembatasan
(lartas) Impor dari kawasan pabean
(border) ke luar kawasan pabean (post border) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 28 Tahun 2018 Tentang
Pelaksanaan Pemeriksaan Tata Niaga Impor di Luar Kawasan Pabean (Post border)
yang kemudian diubah dengan Permendag Nomor 51 Tahun 2020. Dengan perubahan
tersebut, pengawasan dan pemeriksaan atas pemenuhan persyaratan tata niaga
impor tidak dilakukan di daerah pabean, melainkan dilakukan setelah barang yang
diimpor tersebut melewati kawasan pabean (post border) di gudang
importir. Dalam pelaksanaannya
berpotensi terjadinya kebocoran barang-barang yang tidak sesuai dengan
ketentuan karena barang yang sudah tidak berada di kawasan pabean akan dapat dengan bebas beredar di pasar dalam
negeri. Selain itu, banyak stakeholder yang menganggap pelaksanaan
pengawasan post border masih kurang efektif dan efisien. Hal ini
harus mendapatkan perhatian pemerintah agar bisa
dilakukan optimalisasi pengawasan post border sehingga pengawasan post border dapat mencapai
tujuan untuk
melindungi konsumen.
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pelaksanaan dan
permasalahan yang
muncul dalam pengawasan post border saat ini, sehingga diperoleh rumusan
usulan kebijakan yang terkait dengan pengawasan post border agar
implementasinya menjadi lebih optimal, efektif dan efisien. Metode analisis yang
digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Data dan infomasi dikumpulkan
melalui survei menggunakan kuesioner online kepada dua pihak responden
yaitu (1) importir dan (2) petugas pengawas post border. Informasi yang
diperoleh akan diolah dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel untuk
menggambarkan profil pelaksanaan pengawasan dan permasalahan yang ditemui dalam
pengawasan post border.
Hasil analisis menunjukkan beberapa gambaran
permasalahan yang ditemui dalam pengawasan post border antara lain: (a) terjadinya kegagalan konektivitas antara sistem INSW
dan INATRADE di mana PI (Persetujuan Impor) dan LS (Laporan Surveyor) yang
sudah diinput oleh importir dalam sistem INSW tidak terlihat pada sistem
INATRADE milik Kementerian Perdagangan sehingga petugas pengawas mendapatkan
notifikasi bahwa pelaku usaha belum memenuhi ketentuan yang berlaku; (b) rekomendasi pencabutan Nomor Induk Kepabeanan importir
yang melanggar ketentuan yang disampaikan oleh petugas pengawas masih terlalu
lambat untuk direspon oleh instansi yang berwenang (bea cukai) mengeluarkan
Nomor Induk Kepabeanan sehingga importir yang tidak mengikuti ketentuan masih
bisa melakukan importasi meskipun sudah diberikan sanksi; (c) masih ditemui
petugas pengawas yang belum memahami jenis/kategori barang yang masuk dalam
aturan larangan dan pembatasan (lartas) impor sehingga importir sering tidak
sepaham dengan petugas pengawas terkait barang yang seharusnya tidak terkena
lartas impor; (d) pelaksanaan pengawasan post border masih belum bisa
mengikuti kecepatan arus masuk dan keluarnya barang sehingga pada saat pengawasan
post border dilakukan, barang yang diawasi sudah tidak ada di gudang
importir; (e) jumlah petugas pengawas tertib niaga yang melakukan pengawasan post
border masih sangat kurang sehingga frekuensi dan kecepatan pelaksanaan
pengawasan belum optimal.
Analisis ini
memberikan beberapa poin rekomendasi terkait pelaksanaan
pengawasan post border agar lebih efektif dan efisien sebagai berikut:
(1) Kementerian
Perdagangan dan Ditjen Bea Cukai perlu melakukan
perbaikan dan peningkatan integrasi sistem informasi agar data yang sudah
diinput oleh pelaku usaha di INSW bisa diakses secara sempurna oleh sistem
INATRADE; (2) Kementerian
Perdagangan perlu melakukan koordinasi berkaladengan
instansi terkait untuk
menyederhanakan mekanisme pencabutan izin usaha atau Nomor Induk Kepabeanan
sehingga proses pemberian sanksi administratif bagi importiryang
melanggar ketentuan dapat
berlangsung lebih cepat dan efisien; (3) Kementerian Perdagangan perlu menyusun buku saku atau membuat aplikasi
yang berisikan database jenis barang yang
dikenakan larangan pembatasan (Lartas) impor sehingga
petugas pengawas di lapangan bisa mengetahui jenis barang yang diterapkan larangan pembatasannya; (4) Untuk
mengatasi masalah ketiadaan barang di gudang importir pada saat dilakukan pengawasan, maka Kementerian Perdagangan perlu membuat aturan agar pelaku usaha atau importir diwajibkan untuk menyediakan satu gugus sampel produk
agar bisa dilakukan pengawasan; (5)
Kementerian Perdagangan perlu
meningkatkan jumlah petugas pengawas tertib niaga yang melakukan pengawasan post
border sehingga
pelaksanaan pengawasan post border dapat
mengikuti kecepatan arus keluar masuknya barang; (6) Kementerian Perdagangan perlu melakukan
pengawasan post border secara berkala terhadap importir yang sudah
memenuhi persyaratan dokumen impor untuk memastikan kesesuaian barang yang
diimpor dengan data yang tercantum dalam dokumen impor.