ANALISIS KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI DALAM
MENGEMBANGKAN INDUSTRI BERBASIS SAPI
Dalam rangka kebijakan swasembada daging sapi nasional,
pemerintah secara bertahap tealh melakukan pengurangan impor sapi bakalan dan
daging sapi sejak tahun 2013 lalu. Agar pengurangan impor sapi bakalan tidak
berdampak pada kelangkaan suplai daging sapi terutama di pasar sekitar
Jabodetabek, maka perlu adanya produk substitusi yaitu sapi bakalan lokal.
Untuk itu perlu dikembangkan industri pembibitan sapi lokal guna mendukung
program swasembada daging sapi nasional. Studi ini bertujuan untuk menganalisis
perwilayahan industri pembibitan, mengidentifikasi hambatan dalam melakukan
usaha perbibitan sapi serta menganalisis tingkat harga sapi yang wajar dan
layak untuk mendorong usaha perbibitan sapi di dalam negeri. Dengan menggunakan
metode location quotient (LQ) dan pendekatan analisis kelayakan usaha diperoleh
hasil bahwa wilayah yang potensial dikembangkan sebagai pensuplai sapi bakalan
yakni Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, NTB, NTT dan Bali. Selain itu, untuk
mengembangkan industri bibit sapi di dalam negeri, maka perlu adanya bantuan
pemerintah dalam hal penyediaan lahan, subsidi bunga pinjaman kredit dan
bantuan sarana transportasi sehingga akan terbentuk harga di tingkat konsumen
yang lebih kompetitif.
Berdasarkan hasil analisis perwilayahan industri sapi,
permasalahan industri perbibitan sapi, serta harga pokok produksi sapi bakalan
dan harga daging sapi, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.Dalam industri peternakan
pembibitan (breeding), pembesaran anak sapi (growing strocker) dilakukan di
wilayah yang banyak sumber hijauan yaitu perdesaan. Fase penggemukan bisa
dilakukan baik di wilayah perdesaan (menggunakan dedak, jagung) maupun di
perkotaan (menggunakan ampas tahu, limbah organik dari pasar). Berdasarkan
hasil analisis LQ, dan pertimbangan jarak, maka diperoleh gambaran spatial
daerah pensuplai sapi bakalan (sentra produksi) dan wilayah importir sapi
bakalan (sentra konsumen dalam hal ini wilayah Jabodetabek) sebagai berikut:
·Wilayah (provinsi) yang potensial
sebagai suplaier/pemasok sapi bakalan adalah: Sumatra (Aceh, dan Lampung), Jawa
(Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
dan Sulawesi Tengah), Bali, NTB, dan NTT.
·Wilayah importer bakalan ada 13
provinsi diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan beberapa wilayah
Sumatra (Sumatera Selatan dan Bangka Belitung), Kalimantan (Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat), Sulawesi (Sulawesi
Barat), Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
·Sementara, wilayah (provinsi)
lainnya seperti Jawa Tengah, Sumatera (Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi
dan Sumatera Utara), Sulawesi (Sulawesi Utara, dan Gorontalo),dan Maluku
merupakan wilayah subsisten dimana populasi yang ada sudah mencukupi kebutuhan
di wilayah tersebut.
2.Untuk mengembangkan industri bibit
sapi di Indonesia masih terdapat beberapa kendala, di antaranya adalah:
·keterbatasan padang penggembalaan
terutama di wilayah Jawa,
·suitnya menjaga kontinuitas
ketersediaan pakan hijauan terutama pada saat musim kemarau, - karakteristik
industri perbibitan sapi membutuhkan modal yang cukup besar dan memiliki
capital turn over yang cukup rendah sehingga kurang menguntungkan dalam jangka
pendek,
·kredit sulit diakses karena
peternak tidak memiliki agunan.
3.Harga pokok penjualan sapi anakan
bibit (pedet) tergantung dari bangsa sapi yang dipelihara (genotip) dan jenis
pakan yang diberikan (lingkungan). Dari tiga skenario model pengembangan usaha
ternak perbibitan sapi, maka diperoleh harga pokok minimum pedet sebagai
berikut:
·Berdasarkan perhitungan harga
pokok produksi sapi PO yang dipelihara secara intensif di Jawa Tengah, dengan
asumsi pemerintah membantu 50% dari nilai investas untuk skala pemeliharaan 25
ekor induk (besarnya subsidi Rp.164.187.500) selama 3 bulan (berat badan 150
kg), maka diperoleh harga antara Rp 6,2 juta (betina) hingga Rp 6,7 juta
(jantan). Jika ditambah dengan biaya transpor Rp 600 ribu/ekor, maka harga
pokok produksi di Jabodetabek menjadi rata-rata Rp 7.050.000,- atau rata-rata
Rp 47.000,-/kg hidup. Apabila pemerintah hanya memberikan subsidi bunga (KUPS),
dan investasi dibiayai oleh peternak sendiri dari pinjaman, maka harga jual
anak sapi umur 3 bulan adalah Rp 54.000/kg hidup.
·Harga pokok produksi sapi Madura
yang dipelihara secara ekstensif di NTB dengan skala pemeliharaan 10 ekor
induk, diperoleh harga di tingkat peternak dengan berat badan hidup250 kg adalah
sebesar Rp 7.5 juta. Dengan asumsi harga sampai Jakarta Rp 9 juta/ekor (Biaya
transportasi sampai ke Jakarta Rp 1,5 juta/ekor) , maka didapat harga Rp
36.000/kg hidup. Jika dikonversi menjadi karkas (konversi 47,5%), maka harga
daging di Jakarta Rp 75.800/kg.
·Untuk pendekatan model intensif
skala besar yakni dengan asumsi jumlah indukan 1000 ekor sapi yang diperoleh
dari impor (Limousin dan Simental) dan dikawinsilangkan melalui IB dengan semen
sapi Brahman, apabila pemerintah memberi bantuan investasi 50 milyar dan
subsidi bunga KUPS, maka diperoleh harga jual anak sapi sebesar Rp 40.000/kg
hidup. Setelah digemukan 1 th, berat badan 350 kg harga jual Rp 14 juta dan
konversi karkas 50%, maka harga jual daging bisa Rp 80.000/kg.Tanpa bantuan
investasi, namun masih ada bantuan pemerintah dalam hal subsidi bunga KUPS,
maka diperoleh harga pokok penjualan Rp 63.200/kg hidup atau setara Rp126.400,
per kg daging.
4.Dalam upaya menjaga stabilitas harga daging sapi di sentra konsumen
terutama untuk wilayah Jabodetabek sekaligus mendukung program swasembada
daging sapi nasional, maka sebagai bahan rekomendasi kebijakan pemerintah dapat
diusulkan beberapa hal sebagai berikut:
·Perlunya pembangunan sistem
transportasi sapi yang dapat memperlancar suplai sapi dari wilayah pensuplai
utama sapi bakalan (NTB, NTT, Sulawesi) ke wilayah sentra konsumen
(Jabodetabek). Pembangunan transportasi sapi ini dapat mengurangi harga di
tingkat konsumen hingga …persen. Hal ini sekaligus mendorong pengembangan
peternakan sapi disentra produksi, karena dapat menekan biaya transportasi
sehingga harga menjadi lebih kompetitif.
·Selama belum ada transportasi sapi
antar pulau yang efektif, untuk memenuhi daging sapi di Jabodetabek, impor
masih diperlukan dengan pengawasan agar daging/sapi impor tidak beredar di luar
Jabodetabek yang dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas harga sapi.
·Mengingat karakteristik industri
bibit sapi yang kurang menguntungkan dalam jangka waktu pendek, maka
pengembangan industry bibit sapi melalui ketiga jenis model dimungkinkan dengan
asumsi sebagai berikut: - Untuk pengembangan pembibitan sapi PO menggunakan
bakalan lokal secara intensif di Jawa Tengah, diperlukan subsidi kredit (KUPS)
dan 50% dari kebutuhan investasi (kandang dan peralatan serta pengadaan awal induk)
agar harga pokok produksi memenuhi ceiling price (Rp 40.000/kg hidup). Untuk
skala 25 ekor induk, subsidi investasi yang diperukan adalah sebesar
Rp164.187.500. - Untuk model pengembangan sapi Madura dengan sistem
ekstensifikasi di wilayah NTB dan NTT, maka subsidi dalam bentuk penyediaan
sarana transportasi, dapat mengurangi harga di tingkat konsumen hingga 17
persen. - Pada model intensifikasi skala besar dapat dikembangkan oleh
pemerintah melalui BUMN atau pihak swasta dengan bantuan penyediaan lahan,
pengadaan indukan dan subsidi bunga kredit/pinjaman dengan tenggat waktu (grace
periode selama 2 tahun).