Indonesia
yang merupakan negara agraris yang memiliki bermacam-macam sumber daya alam dan
sangat berlimpah yang digunakaan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu sub
sektor dari pertanian yaitu adalah
perkebunan, yang merupakan salah satu devisa bagi Indonesia. Tanaman karet
merupakan komiditi unggulan bagi negara dalam kegiatan ekspor.
Karet
yang dihasilkan oleh Indonesia begitu banyak sehingga Indonesia termasuk negara
penghasil karet terbesar di dunia. Indonesia dan 9 Negara penghasil karet
lainnya seperti Thailand, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Tiongkok, Vietnam,
Kamboja, Sri Lanka dan India tergabung dalam The Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) yang
berdiri pada tahun 1970.
Pada
pertemuan pertama ANRPC “Task Force on Alternative Mechanism to Solve Rubber Price Problem in
Short Term Period” yang telah dilaksanakan
di Bangkok pada tanggal 21-22 November 2019 diusulkan penetapan harga minimum pembelian karet di tingkat
petani (atau harga di tingkat ekspor).
Harga
karet alam dunia dalam setahun terakhir terus menerus mengalami fluktuasi harga
bahkan harganya mengalami penurunan hingga mencapai 1,29 USD/kg (TSR 20)
padahal pernah mencapai 1,65 USD/kg di Tahun yang sama. Secara sederhana,
Thailand mengusulkan agar harga ekspor karet alam dipatok pada harga 2,2 USD/kg
(TSR20), dengan penerapan dalam 4-6 bulan setelah kesepakatan ini disepakati. Adapun Gapkindo (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia)
mengusulkan harga ekspor karet alam dipatok pada harga 1,8 USD/kg (TSR20)
apabila mekanisme ini disepakati.
Sebagai
salah satu negara penghasil utama karet alam, Indonesia perlu menentukan posisi
terbaik dalam merespon usulan Thailand tersebut, untuk itu diperlukan suatu
analisis dampak penerapan referensi harga ekspor karet alam terhadap harga jual
Bokar (bahan olah karet) di tingkat petani.
Selanjutnya untuk mengetahui dampak harga karet
internasional terhadap kesejahteraan petani karet. Maka akan dilakukan 3 (tiga) simulasi harga karet internasional
yaitu ; (1) Simulasi 1, sesuai usulan GAPKINDO, dengan patokan harga ekspor
karet sebesar USD 1,8/kg, (2) Simulasi 2, nilai harga tengah antara
usulan GAPKINDO dan Thailand yaitu sebesar USD 2 / kg, dan (3) simulasi 3,
sesuai usulan Thailand, yaitu sebesar USD 2,2 /kg.
Dampak terhadap kesejahteraan petani karet dapat
diukur setidaknya dari 2 (dua) indikator data; (1) Indikator data Primer,
berdasarkan wawancara dengan stakeholder bahwa Petani karet menganggap dirinya
sejahtera apabila harga jual 1 Kg Bahan
Olah Karet (Bokar) setara dengan harga 1 Kg Beras. (HET Beras Medium Sumatera
Sebesar Rp. 9,450/kg) dan (2) indikator data sekunder, yaitu dari indikator BPS
mengenai angka garis kemiskinan Indonesia 2019 sebesar Rp. 425.250 /bulan.
Simulasi dengan asumsi kurs sebesar Rp. 13.800,
maka diperoleh perhitungan penghasilan petani dengan memperhitungan kualitas
Bahan Karet Olahan (Bokar) Biaya Transportasi, Biaya Produksi Pabrik, Harga
Internasional dan Nilai tukar rupiah. Dari ketiga simulasi, ternyata apabila
dilakukan perbandingan dengan indikator data primer harga beras, maka hanya
simulasi 3 lah yang sesuai dengan keinginan petani dengan harga karet tingkat
petani (Rp 10.104) lebih besar dari HET beras medium sebesar Rp. 9,450.
Namun
apabila dibandingkan dengan indikator sekunder (batas angka kemiskinan), maka
ketiga simulasi menghasilkan penghasilan diatas garis kemiskinan Indonesia Rp. 425.250 per Tahun. Dengan Rp.484.356/ tahun di Simulasi 1, Rp
552.078 / tahun di simulasi 2 dan Rp 619.800 disimulasi 3.
Dari ketiga simulasi tersebut diatas dan dengan
asumsi kurs Rp. 13.800 maka, rekomendasi
yang disarankan adalah simulasi 2 (harga karet 2 USD) dan simulasi 3 (harga
karet 2,2 USD). Simulasi 1 (harga karet 1,8 USD) tidak disarankan karena
berpotensi menyebabkan harga karet per kg ditingkat petani jatuh dibawah harga
beras medium.Untuk meningkatkan kesejahteraan petani,
berbagai pihak perlu secara terus menerus meningkatkan pembinaan kepada petani
karet dengan sasaran peningkatan mutu Bokar.