ANALISIS
PENGGUNAAN ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP) DALAM
PERDAGANGAN BARANG
Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri,
Kementerian Perdagangan melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan
perlindungan kepada konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa,
salah satunya melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja
Menteri Perdagangan Tahun 2011).
Hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di
66 pasar tradisional oleh Kementerian Perdagangan terdapat 21.814 UTTP.
Ditemukan UTTP yang tidak bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%) atau
rata-rata 149 UTTP di setiap pasar. Dengan demikian di 66 pasar tersebut masih
ada 9.843 UTTP yang di gunakan walaupun tidak bertanda tera sah yang berlaku.
Alat UTTP harus ditera ulang sebagai alat kontrol
secara periodik untuk mengetahui apakah alat tersebut masih layak pakai. Alat
UTTP yang tidak ditera mengakibatkan tidak adanya jaminan kebenaran hasil
pengukuran. Kesalahan hasil pengukuran atau penimbangan tidak hanya akan
merugikan konsumen melainkan juga akan merugikan pelaku usaha.
Data mengenai alat UTTP yang dipergunakan di pasar
tradisional tersebut perlu dikoleksi dan diolah. Dari pengolahan data tersebut
diharapkan bisa dianalisis penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar
tradisional. Analisis mengenai penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di
pasar tradisional berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka mendorong
terciptanya perdagangan yang adil, khususnya di pasar tradisional.
Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan
analisis ini adalah untuk (i) mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera
ulang UTTP di pasar tradisional; (ii) menganalisis gap pelayanan tera/tera
ulang UTTP dengan perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional; (iii)
merumuskan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.
Secara umum pelayanan tera/tera ulang UTTP sebagai
bagian dari Metrologi Legal di Indonesia mengalami penurunan kapasitas sejak
masa otonomi daerah, akibat: (i) kurangnya kepedulian pemerintah propinsi/
kabupaten/ kota dalam mengembangkan unit metrologi, yang ditunjukkan dengan
besaran APBD yang kurang memadai, (ii) adanya persepsi bahwa unit metrologi
legal semata-mata sebagai sumber retribusi PAD, (iii) penurunan jumlah SDM
akibat pensiun atau rotasi kerja lintas instansi, dan keterbatasan pengembangan
kompetensi SDM metrologi daerah, (iv) peralatan dan standar kerja yang kurang
memadai jika dibandingkan dengan perkembangan jumlah UTTP yang pesat di
masyarakat, serta (v) kerjasama antar unit metrologi daerah dinilai pada
tingkat yang sangat rendah, padahal dunia kemetrologian menuntut intensitas
kerjasama dan saling pengakuan yang tinggi antar unit metrologi.
Terdapat beberapa gap antara penggunaan UTTP,
khususnya timbangan, dengan kapasitas UPT Metrologi Legal di daerah, terutama
pada bagian-bagian: • Pemahaman dan dukungan dari pembuat kebijakan •
Keterbatasan Anggaran untuk operasional dan pengadaan standar • Kondisi sarana
memerlukan banyak perbaikan seperti peralatan uji lab kurang, sehingga tidak
seluruh jenis UTTP dapat ditera/tera ulang • Pertumbuhan pedagang tradisional
dan modern membuat sebaran pedagang menjadi lebih luas • Tidak ada pengawasan
terhadap timbangan. Hal ini karena UPT Metrologi Legal hanya memiliki tugas
untuk melakukan pelayanan tera dan tera ulang. • Tidak ada sanksi jika ada pelanggaran
yang ditemukan. Hal ini karena UPT tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
penyidikan dan tindakan. Pelanggaran besar dilaporkan kepada pihak kepolisian.
• Pemerintah daerah dan UPT tidak memiliki data Wajib Tera dan UTTP di wilayah
kerjanya. Perhitungan potensi dan perencanaan didasarkan pada data pelayanan
tahun sebelumnya. • Koordinasi dalam pendataan, pengawasan dan penindakan belum
dilaksanakan
Kegiatan pelayanan tera/tera ulang UTTP masih
mengandalkan Pemerintah Pusat yang saat ini masih menghadapi permasalahan
seperti keterbatasan jumlah dan kompetensi SDM, anggaran, serta sarana dan
prasarana tera/tera ulang. Sedangkan pemerintah daerah belum memprioritaskan
kegiatan tersebut, karena semata-mata hanya sebagai sumber PAD bukan tugas yang
sifatnya mandatory dalam rangka perlindungan konsumen.
Pengamatan terhadap pelaksanaan tera dan tera ulang
di daerah kajian menunjukkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang UTTP masih
lebih kecil dibandingkan potensi jumlah pelayanan tera/tera ulang yang seharusnya
dilaksanakan setiap tahun Secara umum, kapasitas pelayanan tera/tera ulang
hanya dapat menjangkau sekitar 24,7% dari estimasi populasi timbangan yang ada.
Rekomendasi kebijakan
Perlu mendorong pemerintah Provinsi dan Kabupaten
/kota bahwa pelayanan tera/tera ulang UTTP bersifat mandatory dalam upaya
perlindungan konsumen.
Perlu mendorong dan memfasilitasi koordinasi antara
pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya meningkatkan
pelayanan tera/tera ulang UTTP khususnya timbangan antara lain : membentuk UPT
dan UPTDUPTD yang dilengkapi jumlah dan kompetensi SDM (penera dan pegawai yang
berhak) yang memadai; ketersediaan sarana dan prasarana (gedung, peralatan
standar, alat transportasi, dll), kegiatan pengawasan dan penyuluhan tera/tera
ulang. Sedangkan koordinasi Pemerintah Kabupaten dengan pengelola pasar adalah
dalam upaya untuk meningkatkan akses pelayanan tera/tera ulang termasuk update
data UTTP yang valid di pasar tradisional.
Diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas
pelayanan tera/tera ulang UTTP agar dapat menjangkau seluruh populasi timbangan
yang ada di pasar tradisional melalui: 1) Membentuk standar operasi dan
prosedur (SOP) pelayanan tera ulang yang lebih baik dan teratur sehingga
jangkauan pelayanan dapat lebih banyak dan dilakukan secara periodik serta
tidak ada komplain timbangan rusak sesudah di tera ulang. Berdasarkan SOP ini
akan diketahui kebutuhan jumlah hari pelayanan tera ulang di setiap pasar. 2)
Memetakan kebutuhan tenaga penera/PPNS Metrologi Legal di masing-masing
provinsi dan kabupaten/kota ; iv 3) Menambah dan memperbaiki kondisi
sarana/prasara pelayanan relatif sudah tua.
Perlu ada penegakan aturan dalam penerapan sanksi
terhadap pelanggaran yang merugikan konsumen.
Upaya sosialisasi masih terus ditingkatkan baik
dalam bentuk langsung kepada pedagang dan konsumen maupun dalam bentuk tayangan
iklan, pos ukur ulang, bantuan timbangan pengganti seperti di pasar tertib ukur
dan konsumen cerdas termasuk pro-aktif dalam layanan pengaduan.