KAJIAN PEMETAAN KESESUAIAN PERATURAN
PADA SEKTOR PRIORITAS (OBAT MAKANAN DAN JASA LAYANAN KESEHATAN) DENGAN UNDANG –
UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Peraturan perundang-undangan di sektor obat
dan makanan olahan pada dasarnya sudah sesuai dengan UUPK. Undang-Undang yang
khusus mengatur misalnya UU Kesehatan, UU Pangan beserta peraturan pelaksananya
dibuat salah satunya untuk melindungi konsumen Indonesia. Meskipun dalam
peraturan perundang-undangan khusus di sektor obat dan makanan olahan tidak
mengatur secara spesifik mengenai hak dan kewajiban baik konsumen maupun pelaku
usaha, namun demikian tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan dalam UU Pangan
secara tegas disebutkan bahwa tujuan penyelenggaran pangan salah satunya yaitu
untuk mewujudkan kecukupan pangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf
c.Ketentuan ini sesuai dengan perkembangan prinsip perlindungan konsumen
sebagaimana diatur dalam United Nation Guidelines for Consumer Protection yang
diperbaharui di tahun 2015. Salah satu prinsip terbaru dalam Guideline yang
terbaru ini adalah “akses konsumen akan barang dan/atau jasa yang esensial
(pokok).29 Prinsip ini belum tercantum dalam UUPK. Untuk itu penting untuk
masukkan hak konsumen untuk mendapatkan kecukupan barang dan/atau jasa yang
pokok dalam revisi UUPK. Dalam peraturan di bidang Obat dan Makanan terdapat
banyak pengaturan yang terkait dengan ketentuan mengenai Perbuatan Yang
Dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 8-17 UUPK. Pengaturan yang terdapat
dalam UU Pangan dan UU Kesehatan memang khusus untukmengatur sektor
Pangan dan kesehatan (termasuk obat). Namun demikian ketentuan-ketentuan
tersebut tidak bertentangan dengan UUPK, karena merupakan pengaturan lebih
khusus yang sangat dimungkinkan berdasarkan Pasal 64 UUPK. Khusus mengenai
ketentuan mengenai pemberian informasi mengenai kehalalan suatu produk dalam
label, terdapat perbedaan pengaturan antara UUPK dan UUJPH. Berdasarkan Pasal 8
ayat (1) UUPK tersebut maka Sertifikasi Halal bersifat kebolehan (voluntary)
sedangkan berdasarkan Pasal 4 UUJPH sertifikasi halal merupakan kewajiban
(mandatory). Meskipun tidak ada sanksi bagi pelaku usaha yang tidak
mensertifikasi produknya, namun demikian demi kepastian hukum sebaiknya kedua
peraturan-perundang-undangan tersebut mempunyai kesamaan pengaturan untuk
memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan hukum tidak hanya kepada
konsumen, tetapi juga kepada pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.
Dalam UU Kesehatan dan UU Pangan maupun peraturan pelaksana lainnya tidak
diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. Oleh karena itu konsumen yang dirugikan dapat menggunakan mekanisme
dan kelembagaan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana yang diatur dalam
UUPK. Ketentuan tentang kewenangan pengawasan oleh Pemerintah di sektor Pangan
dan Obat pada dasarnya merupakan pengaturan yang khusus mengenai pengawasan di
sektor pangan dan obat. Ketentuanketentuan tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) UUPK, karena pada dasarnya ditujukan untuk
melindungi konsumen Indonesia. 6.2. Rekomendasi: 1. Dalam Revisi UUPK sebaiknya
ditambahkan satu hak konsumen yang baru yaitu untuk mendapatkan kecukupan
pemenuhan kebutuhan pokok. Hal ini penting tidak hanya untuk menjamin agar konsumen
mendapatkan kecukupan pangan, tetapi juga sejalan dengan perkembangan prinsip
perlindungan konsumensebagaimana diatur dalam United Nation Guidelines for Consumer
Protection yang diperbaharui di tahun 2015 yaitu “akses konsumen akan barang
dan/atau jasa yang esensial (pokok). 2. Agar dibentuk Lembaga penyelesaian
sengketa khusus di sektor obat dan makanan, karena sifat sengketanya lebih
khusus. Unit pelayanan yang terdapat di BPOM sebaiknya ditingkatkan menjadi
Unit Penyelesaian Sengketa Konsumen khusus untuk obat dan makanan sehingga
dapat membantu konsumen Indonesia yang mengalami permasalahan terkait makanan
dan obat yang dikonsumsinya. Mengingat aspek makanan olahan dan khususnya obat
ini sangat spesifik, maka akan lebih baik penyelesaian sengketanya ditangani
oleh Unit Khusus. Selain itu keberadaan Balai POM dan Balai Besar POM yang ada
di daerah yang jumlahnya 30 dapat dimaksimalkan sebagai salah satu Lembaga
penyelesaian sengketa konsumen khusus untuk bidang obat dan makanan olahan. 3.
Perlu dikaji kembali pengaturan mengenai kewajiban tentang sertifikasi halal,
apakah sebaiknya tetap bersifat voluntary sebagaimana diatur dalam UUPK atau
mandatory sebagaimana diatur dalam UUJPH. Hal ini penting untuk memberikan
kepastian hukum sekaligus perlindungan hukum bagi konsumen dan pelaku usaha
yang jujur dan bertanggung jawab