KAJIAN
PENGAWASAN BARANG YANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN
Perlindungan konsumen adalah salah satu syarat
pendukung dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Dalam upaya melindungi konsumen,
pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, telah mengeluarkan Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata
cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan terhadap
barang beredar sebagai upaya mewujudkan perlindungan konsumen yang optimal pada
dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk di
wilayah perbatasan. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pengawasan
barang dan sekaligus menganalisis kinerja pengawasan khususnya di daerah
perbatasan. Dengan menggunakan Kerangka Input-Proses-Output, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengawasan barang beredar di daerah perbatasan belum
dilaksanakan secara optimal dan kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan
belum berjalan dengan baik yang disebabkan Sumber daya manusia (SDM) pengawasan
yang dimiliki daerah perbatasan masih terbatas atau hanya sebanyak 50% dari
kebutuhan, proporsi anggaran untuk pengawasan masih relatif kecil yaitu
rata-rata sebesar 9% dari total anggaran Dinas, dan minimnya sarana
transportasi untuk mendukung pelaksanaan pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian,
Perdagangan, dan KoperasiKabupaten Malinauberupa pengawasan barang sesuai
dengan ketentuan seperti SNI Wajib, label berbahasa Indonesia, dan Manual Kartu
Garansi (MKG) yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dalam hal ini, pengawasan terhadap peredaran barang di
perbatasan belum dilakukan secara khusus dikarenakan beberapa hal, antara lain
: 1) Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar sangat
terbatas. Alokasi anggaran kegiatan pengawasan lebih difokuskan pada aspek
monitoring harga barang dan pelaksanaan ketentuan SNI Wajib, MKG, dan label
berbahasa Indonesia. 2) Belumtersedianya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK) yang memadai. 3) Belum
tersedianya sarana dan prasarana seperti mobil operasional pengawasan. 4) Belum
tersedianya Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan barang. Hal ini menunjukkan
bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur pengawasan barang dari
pemerintah pusat maupun dari pemerintah provinsi tidak tersampaikan ke dinas
kabupaten. 5) Kondisi geografis yang sulit bagi kegiatan pengawasan serta
minimnya infrastruktur pada jalur perdagangan lintas batas.
Secara umum, beberapa barang yang diperdagangkan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku seperti: 1) Tidak terdapat label/ tanda
SNI Wajib pada produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang diimpor dari Malaysia.
Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
49/M-IND/PER/3/2012 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Air
Minum Dalam Kemasan (AMDK) Secara Wajib yang mengatur ketentuan label SNI Wajib
pada produk AMDK di pasar dalam negeri. 2) Produk gula pasir dan terigu yang
diimpor dari Malaysia dijual pada tingkat harga subsidi yang ditunjukkan dengan
label “Produk Bersubsidi” pada kemasan. Besaran subsidi adalah RM 1 untuk
setiap produk.
Pengawasan barang beredar di daerah perbatasan
belum dilaksanakan secara optimal. Umumnya pengawasan dilaksanakan secara kasat
mata dan belum dilakukan uji laboratorium. Selain itu, belum dibuat secara
rutin laporan dan tindak lanjut hasil pengawasan.
Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar (Tim TPBB)
sudah dibentuk, namun koordinasi antar instansi maupun lembaga terkait dalam
melaksanakan pengawasan belum efektif. Koordinasi dilakukan hanya pada saat
menjelang bulan puasa dan hari besar keagamaan sekaligus untuk monitoring
harga. Koordinasi dimaksud juga belum dilaksanakan dengan melibatkan
Kepabeanan, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS-custom, immigration,
quarantine, and security).
Kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan
belum berjalan dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan frekuensi pengawasan
yang relatif rendah yaitu rata-rata hanya dilaksanakan 1 (satu) kali dalam
setahun. Hal ini disebabkan: 1) Sumber daya manusia (SDM) pengawasan yang
dimiliki daerah perbatasan masih terbatas. Rata-rata jumlah petugas pengawas
berkisar antara 1 – 2 orang atau hanya sebanyak 50% dari kebutuhan sehingga
pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal. Selain itu tingkat pengetahuan
dan pemahaman terhadap bidang tugas pengawasan juga masih rendah. 2) Proporsi
anggaran untuk pengawasan masih relatif kecil yaitu rata-rata sebesar 9% dari
total anggaran Dinas. 3) Minimnya sarana transportasi untuk mendukung
pelaksanaan pengawasan barang yang memadai.
Ditemukan barang sampel yang tidak sesuai ketentuan
parameter pengawasan khususnya Label, Standar Nasional Indonesia (SNI), dan
Manual Kartu Garansi (MKG). Jenis barang yang tidak bertanda SNI antara lain
lampu pijar, regulator tabung gas, dan tusuk kontak, sedangkan yang tidak
menggunakan Label Bahasa Indonesia antara lain biskuit/makanan ringan, bahan
pokok, dan makanan minuman kaleng.
Gambaran umum proporsi barang yang beredar di
daerah perbatasan adalah 70% merupakan produk dalam negeri dan 30% berasal dari
Malaysia. Sementara barang yang telah memenuhi ketentuan parameter pengawasan
di daerah perbatasan mencapai 51,4% yang merupakan produk dalam negeri,
sehingga masih terdapat 18,6% produk dalam negeri yang belum memenuhi ketentuan
parameter pengawasan.
Berdasarkan kelompok barang yang beredar di daerah
perbatasan maka barang yang berasal dari Malaysia didominasi (53%) oleh bahan
pokok, biskuit/makanan ringan dan makanan minuman kalengan, sedangkan
barang-barang elektronik dan bahan bangunan didominasi oleh produk dalam negeri
masing-masing sebesar 99% dan 88,3%.
Dengan alasan untuk memenuhi kecukupan pasokan
bahan pokok, Kepala daerah/bupati yang memiliki daerah perbatasan, mengeluarkan
surat edaran yang memperbolehkan beredarnya barang pokok asal Malaysia keluar
dari daerah perbatasan (kecamatan) ke kecamatan lain di kabupaten tersebut. Kebijakan
ini berpotensi membuat barang asal Malaysia merembes ke kabupaten lain bahkan
ke provinsi lainnya
Dalam rangka mendukung peningkatan pengawasan
barang beredar khususnya di perbatasan, perlu disusun Standar Pelayanan Minimum
(SPM) meliputi frekuensi pengawasan, jumlah barang yang diawasi, dan lokasi
pengawasan agar dapat dijadikan acuan dalam penilaian kinerja unit kerja
pengawasan barang beredar.
Menghimbau pemerintah daerah agar dapat merekrut
petugas PPBJ dan PPNS-PK sesuai kebutuhan dan mempertahankan keberadaan petugas
pengawas tersebut dengan mengusulkan menjadi fungsional.
Mengusulkan dana alokasi khusus (DAK) dan dana
dekonsentrasi untuk mendukung pelaksanaan pengawasan di daerah perbatasan
dengan persyaratan adanya jumlah SDM Pengawas yang memadai, frekuensi
pelaksanaan pengawasan, dan jumlah laporan pengawasan barang di daerah
perbatasan.
Dalam
rangka efektifitas pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan, maka
dapat dilakukan kerjasama dengan pihak kepabeanan, karantina, dan keamanan
dalam bentuk nota kesepahaman (MoU).
Mensinkronisasikan peraturan daerah yang berpotensi
menghambat pencapaian tujuan pengawasan barang beredar, khususnya di daerah
perbatasan.
Memajukan peran Kementerian Perdagangan dalam
menyediakan bahan kebutuhan pokok yang lebih baik dan terjamin bagi masyarakat
daerah perbatasan