Implementasi
strategi hilirisasi dan peningkatan nilai tambah komoditas nikel terus menunjukkan
tren positif. Kini, sudah terdapat 29 pabrik/smelter pemurnian nikel
yang telah beroperasi yang terdiri 27 pabrik pirometalurgi dan 2 pabrik
hidrometalurgi. Industri ini akan semakin meluas dengan adanya penambahan
sebesar 32 pabrik/smelter dalam tahap konstruksi dan 20 pabrik/smelter
yang berencana untuk dibangun secepatnya. Namun, terdapat beberapa kendala yang
dihadapi baik oleh pabrik/smelter maupun penambang sebagai berikut: (i)
cadangan nikel kadar tinggi sangat terbatas, sementara kebutuhan per tahun
semakin meningkat seiring dengan pesatnya pembangunan smelter; dan (ii)
sebagian besar bijih nikel terdiri dari nikel berkadar rendah atau nikel limosit.
Sejak tahun 2020, perdagangan bijih nikel (HS 2604.00.00) Indonesia dengan dunia
selalu mencatatkan defisit neraca perdagangan. Hal ini disebabkan oleh penurunan
drastis ekspor nikel pada tahun 2020 setelah adanya kebijakan pelarangan ekspor
bijih nikel dalam PermenESDM No 11 Tahun 2019. Ketentuan tata niaga ekspor
bijih nikel tertuang dalam Permendag No. 18 Tahun 2021 dimana bijih nikel
dengan kode HS 2604.00.00 merupakan barang yang dilarang untuk diekspor. Namun,
dalam Permendag No. 12 Tahun 2022, bijih nikel sudah kembali dapat diekspor
menggunakan instrument Persetujuan Ekspor (PE). Tata niaga perdagangan domestik
bijih nikel diatur dalam Kepmen ESDM dimana harga mengacu pada Harga Patokan
Mineral (HPM). Kendati demikian, Kepmen ESDM tersebut belum mengatur harga
dengan kadar nikel kurang dari 1,70% belum diatur, oleh karena itu diharapkan
Kementerian ESDM dapat menambahkan kategori untuk nikel limosit hingga kadar
1,50% mengingat diperlukan suatu tata niaga yang jelas bagi jenis nikel
tersebut. Kebijakan ini dapat memberikan kepastian harga acuan bagi sektor hulu
dan hilir atau pabrik/smelter untuk nikel limosit.
Kata kunci: Tata
Kelola, Bijih Nikel, Isu Perdagangan