ANALISIS
KELOMPOK KONSUMEN (CONSUMER GROUP) DALAM UPAYA
PENINGKATAN
KEBERDAYAAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen dapat dikatakan berhasil
apabila konsumen Indonesia sudah berdaya, dalam arti bahwa konsumen memahami
hak dan kewajibannya serta mampu untuk melindungi dirinya sendiri dari potensi
kerugian. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan perlu
mengoptimalkan upaya dalam pemberdayaan konsumen. Hal ini dilatarbelakangi
beberapa faktor (Puska Dagri, 2016), pertama yaitu pelanggaran hak-hak konsumen
masih sering terjadi, kedua adalah perlunya kesejajaran antara penghormatan
atas hak konsumen dengan kewajiban pelaku usaha. Kemudian yang ketiga adalah
makin terbukanya pasar bagi masuknya berbagai jenis produk dan jasa. Kewenangan
Kementerian Perdagangan terkait perlindungan konsumen tertuang dalam
UndangUndang No.7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan khususnya pasal 5 ayat (2) dan
(3) yang menyatakan bahwa kebijakan perdagangan dalam negeri diarahkan dan
mengatur tentang perlindungan konsumen dimana pemberdayaan konsumen menjadi
salah satu upaya dalam perlindungan konsumen. Hal tersebut juga diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan pasal 4 poin (e) bahwa menteri terkait harus
berkoordinasi untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan,
pelatihan dan keterampilan.
Pentingnya peran konsumen dalam perekonomian harus
diiringi usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan
konsumen. Salah satu sebab masih kurang berdayanya konsumen yaitu konsumen
belum cukup terdidik dan terinformasi dengan baik sehingga tidak mampu memilih
barang dan jasa yang terbaik dan tidak mampu melindungi dirinya (AIPEG, 2015).
Untuk itu, kelompok/organisasi konsumen dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
sarana dalam mengoptimalkan upaya pemberdayaan konsumen. Berdasarkan gambaran
tersebut, maka pemerintah perlu mendorong dan mendukung pembentukan kelompok
konsumen dalam rangka peningkatan upaya pemberdayaan konsumen.
Kelompok/organisasi konsumen dapat dibentuk berdasarkan kelompok barang dan
jasa yang dikonsumsi, berdasarkan wilayah atau domisili para anggotanya, dan
juga berdasarkan kesamaan profil social ekonomi. Walaupun potensi
pembentukannya besar, namun jumlah dan perkembangannya tidak seperti yang
diharapkan. Selain itu, hasil literature menunjukkan kelompok/organisasi
konsumen ini merupakan lembaga nonprofit, non-pemeritah, pembiayaannya swadaya,
serta keanggotaannya sebagian besar relawan. Keanggotaan dan pengelolaan
organisasi ini menghadapi berbagai kendala dari kurangnya komitmen anggota
sampai kurang terorganisirnya berbagai program dan kegiatan. Dengan demikian,
untuk mengoptimalkan peranan kelompok/organisasi konsumen maka perlu dilakukan
pemetaan potensi pembentukannya, kemudian bagaimana bentuk lembaga dan
pengelolaannya yang efektif/ideal, serta sejauh mana pemerintah dapat berperan
dalam mendukung peran kelompok konsumen dalam pemberdayaan dan perlindungan
konsumen.
Hasil studi literatur, hasil wawancara lapangan dan
analisis AHP menunjukkan bahwa dengan menggunakan 3 (tiga) indikator prioritas
yaitu
1.jumlah aduan konsumen, potensi
kerugian konsumen, dan proporsi pengeluaran masyarakat, kelompok/organisasi
konsumen dapat dibentuk berdasarkan sektor prioritas dengan urutan sebagai
berikut:
·finansial (perbankan dan
non-perbankan);
·properti;
·fasilitas umum dan layanan publik;
·jasa telekomunikasi; dan
·obat-obatan dan layanan kesehatan.
2.Hasil studi lapangan menunjukkan
masih sedikit LPKSM yang memiliki lingkup kerja yang spesifik berdasarkan
sektor. Pembentukan kelompokkonsumen berbasis sektor akan meningkatkan efektivitas
pelaksanaan kegiatan edukasi karena menguasai materi secara spesifik. Dengan
demikian perlu didorong pembentukan kelompok konsumen yang berbasis pada lima
sektor prioritas tersebut. Hasil studi lapangan menggambarkan kondisi bentuk
kelembagaan kelompok/organisasi konsumen dan pengelolaannya sebagai berikut: a.
Bentuk lembaga kelompok/organisasi konsumen yang ada di masyarakat, dalam hal
ini LPKSM, adalah yayasan dan non-yayasan (LSM). Sebagian besar LPKSM berbentuk
LSM karena membutuhkan lebih sedikit SDM dalam pembentukannya. LPKSM yang
berbadan hukum memiliki hak gugat (legal standing), sementara LPKSM yang tidak
berbadan hukum tidak memiliki hak gugat, sehingga hanya mampu mendampingi
konsumen, tetapi tidak dapat mewakili konsumen secara hukum saat sengketa di
pengadilan. Oleh karena itu, LPKSM yang belum berbadan hukum perlu pendampingan
profesional di bidang hukum untuk penyelesaian sengketa di pengadilan. b.
Secara struktur organisasi, LPKSM harus memiliki ketua, sekretaris dan
bendahara, serta anggota dengan pembagian divisi yang lebih jelas (minimum
terdapat divisi advokasi dan edukasi) untuk dapat melaksanakan kegiatannya
dengan baik. c. Dalam hal pengelolaan, kegiatan LPKSM saat ini fokus
menjalankan fungsi advokasi, namun masih kurang dalam menjalankan fungsi
edukasinya. Kegiatan edukasi konsumen yang dilakukan baik oleh pemerintah
maupun LPKSM seringkali bersifat temporer sehingga sulit diukur dampaknya.
Dalam rangka mendorong LPKSM untuk menjalankan fungsi edukasi, maka pemerintah
perlu memberikan insentif bagi LPKSM yang telah menjalankan fungsi edukasi
dengan memadai. Selain itu, LPKSM perlu lebih banyak dilibatkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah dalam pelaksanaan kegiatan edukasi konsumen.
3.Hasil identifikasi hambatan dalam
pelaksanaan fungsi LPKSM sebagai berikut : a. Keterbatasan SDM secara kuantitas
dan kualitas. Kualifikasi anggota LPKSM dengan pemahaman terhadap UU
Perlindungan Konsumenyang memadai dan product knowledge yang baik, sulit diperoleh, sehingga
pemerintah perlu melakukan peningkatan kapasitas SDM melalui program pelatihan
dan pendidikan yang lebih terarah dan berjenjang. b. Keterbatasan dana
operasional LPKSM, khususnya dalam pelaksanaan kegiatan edukasi ke masyarakat.
Tidak semua LPKSM menetapkan iuran anggota dan sifat organisasi yang nirlaba
tidak memungkinkan LPKSM menetapkan biaya/fee kepada konsumen yang memerlukan
bantuan. LPKSM tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber pembiayaan yang
mungkin tersedia. Pemerintah juga belum memiliki mekanisme yang mengatur
tentang bantuan dana kepada LPKSM. c. Persepsi negatif masyarakat terhadap
LPKSM. Selain belum memahami peran dan fungsi LPKSM, sebagian masyarakat belum
sepenuhnya percaya kepada LPKSM sebagai lembaga yang melindungi konsumen. Untuk
itu, perlu dilakukan sosialisasi peran dan fungsi LPKSM sekaligus untuk
membangun persepsi positif LPKSM di masyarakat.
4.Koordinasi antar LPKSM dan antara
LPKSM dengan pemerintah dinilai masih kurang, sehingga peran asosiasi LPKSM
yang saat ini sudah ada yaitu Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional (PPKN)
sebagai koordinator dan wadah komunikasi perlu diperkuat dan dikembangkan.
Rekomendasi Kebijakan
1.Mendorong pembentukan LPKSM yang
berbasis sektor prioritas yaitu sektor finansial oleh Direktorat Pemberdayaan
Konsumen bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
2.Menghimbau pemerintah daerah mendorong LPKSM untuk berbadan hukum. Jika
LPKSM belum berbadan hukum maka pemerintah daerah perlu bekerjasama dengan
Lembaga Bantuan Hukum Daerah (LBHD) untuk mendampingi LPKSM tersebut di
pengadilan
3.Memberdayakan LPKSM dalam
mendukung program pemerintah dengan caraBekerjasama dengan LPKSM dalam kegiatan pengawasan
barang dan jasa yang beredar di pasar dan pengawasan mandiri di masyarakat b.
Bekerjasama menyelenggarakan program edukasi secara rutin ke masyarakat dengan
target: 1) anak usia sekolah dan warga sekolah; 2) ibu-ibu rumah tangga (PKK
dan pengajian) Membantu menyediakan informasi kepada LPKSM terkait sumber
pembiayaan operasional yang mungkin tersedia
4.Menyusun modul edukasi konsumen
yang akan digunakan sebagai materi pelatihan bagi anggota LPKSM yang berisi :
a. Standar penyampaian materi edukasi b. Pengetahuan dasar konsumen terkait hak
dan kewajiban c. Pengetahuan dasar minimum tentang produk-produk di sektor
prioritas, terutama terkait kesehatan, keamanan dan keselamatan d. Layanan
pengaduan konsumen dan mekanisme penyelesaian sengketa
5.Mensosialisasikan peran dan fungsi
LPKSM di masyarakat dan membangun persepsi positif a. Mencanangkan program
“LPKSM Award” dalam rangka mengapresiasi LPKSM dan organisasi konsumen yang
berdedikasi dalam melaksanakan edukasi dan advokasi b. Bekerjasama dengan LPKSM
untuk menerbitkan majalah atau newsletter yang berisi isu terkini terkait
perlindungan konsumen, kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan LPKSM dan
pemerintah, serta layanan pengaduan konsumen, yang didistribusikan ke seluruh
LPKSM, lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat lainnya.
6.Meningkatkan peran PPKN bagi
seluruh LPKSM di tingkat nasional a. Memberikan informasi dan konsultasi kepada
LPKSM yang menjadi anggotanya terkait sumber pembiayaan seperti lembaga donor
dan program hibah, isu terkini dan regulasi b. Membentuk “Media Center” dengan
PPKN sebagai penanggung jawab dan pengelola