Kegiatan dan transaksi digital Indonesia berkembang pesat dengan nilai transaksi
US$ 77 Miliar dan porsi terhadap PDB mencapai 6.18% pada tahun 2022. Nilai tersebut
diproyeksikan akan terus meningkat sampai US$ 130 Miliar pada 2025 dan bahkan
mencapai US$ 220-360 Miliar pada 2030. Pendorong utama pertumbuhannya adalah
perkembangan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dengan kontribusi lebih
dari 76%. Namun demikian, seiring dengan semakin kompleksnya transaksi di PMSE,
muncul beberapa isu atau permasalahan antara lain banyaknya peredaran produk yang
belum memenuhi standar, penjualan barang dengan harga terlalu murah oleh pelaku usaha
luar negeri, lemahnya daya saing UMKM dan produk dalam negeri dibandingkan produk
luar negeri yang tersebar di PMSE serta berbagai permasalahan yang menyebabkan belum
terwujudnya persaingan usaha dan ekosistem lokapasar yang sehat.
Dengan nilai transaksi PMSE yang mendominasi kegiatan ekonomi digital di
Indonesia dan di tengah dinamisnya perkembangan teknologi digital, Pemerintah
berkewajiban memastikan terciptanya iklim berusaha PMSE yang adil sembari
memberikan ruang dan terus mendorong pengembangan inovasi dalam PMSE.
Menindaklanjuti hal tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan penyempurnaan
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan
Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) . Dalam analisis ini, digunakan pendekatan
Regulatory Impact Assesment (RIA) untuk menganalisis dampak revisi kebijakan terhadap
isu atau permasalahan utama dalam revisi Permendag dimaksud sehingga opsi kebijakan
yang dipilih dapat tepat sasaran dan tepat guna.
Permasalahan utama yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penyempurnaan
kebijakan PMSE antara lain: (i) meningkatnya tren barang impor yang membanjiri ecommerce dengan harga murah, (2) adanya dugaan praktek persaingan usaha yang tidak
sehat antara Pedagang Luar Negeri (LN) dan Dalam Negeri (DN), serta (3) meluasnya
distribusi barang tertentu yang tidak sesuai aturan di PMSE seperti minuman beralkohol,
Napza dan produk MLM. Berdasarkan permasalahan tersebut, analisis dilakukan dengan
pendekatan RIA terhadap pengaturan dan pengawasan PMSE dalam 3 (tiga) isu pokok: Isu
1: Melindungi produk dalam negeri; Isu 2: Penciptaan Kesetaraan Persaingan Usaha yang
Sehat; Isu 3: Melindungi Konsumen Dalam Negeri.
Berdasarkan keseluruhan penilaian analisis RIA serta analisis manfaat dan biaya
maka diperoleh kesimpulan, sebagai berikut:
a. Dalam upaya perlindungan terhadap produk dalam negeri dari membanjirnya
produk LN di lokapasar yang dijual oleh pedagang LN, opsi penerapan harga
barang minimum yang dapat dijual oleh pedagang LN di lokapasar sebesar 100
USD/unit barang menjadi pilihan kebijakan yang paling tepat dan efektif.
b. Sementara itu, untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan setara
di Lokapasar, maka opsi kebijakan yang menetakan kewajiban verifikasi legalitas
identitas dan perizinan pedagang luar negeri oleh pemerintah menjadi pilihan
kebijakan yang paling tepat untuk diimplementasikan. Untuk efisiensi, kebijakan tersebut perlu dilengkapi dengan kewajiban penyertaan
laporan verifikasi lokasi/produk oleh lembaga survey independen di wilayah
setempat.
c. Adapun dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri (DN) terhadap
konsumsi dan peredaran produk-produk tertentu pada PMSE, dalam hal ini
khususnya terkait minuman beralkohol, maka opsi kebijakan yang tepat adalah
melarang memperjualbelikan secara penuh produk minuman beralkohol di
Lokapasar. Opsi kebijakan ini dinilai paling efektif, konsisten dan mempertegas
regulasi sebelumnya.