KAJIAN
KINERJA LOGISTIK PERDAGANGAN ANTAR PULAU: STUDI KASUS BAJA
Kenaikan harga bahan konstruksi menjadi tantangan
sektor konstruksi. Permintaan baja konstruksi harus dipenuhi oleh produksi baja
dari pulau Jawa. Kelancaran distribusi produk baja penting untuk memastikan
terpenuhinya kebutuhan baja tepat waktu dengan biaya yang wajar dalam rangka
mendukung pelaksanaan MP3EI. Tujuan kajian ini untuk merumuskan kebijakan dalam
mengatasi bottleneck logistik. Kajian ini menggunakan pendekatan analisis
deskriptif (mengkombinasikan data kuantitatif dan kualitatif). Pola distribusi
baja memiliki kesamaan antar rute distribusi dan relatif pendek. Kendala dalam
distribusi baja antara lain kepadatan jalan, kondisi infrastruktur yang buruk
serta kurang kondusif, adanya biaya pengawalan yang menyebabkan biaya
distribusi baja menjadi tinggi. Upaya untuk mengurangi biaya logistik dapat
dilakukan melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan ke pelabuhan,
perencanaan jalur transportasi, peningkatan ketertiban pengguna transportasi,
meningkatkan penggunaan moda kereta api dalam distribusi barang. Selain itu
juga diperlukan pusat distribusi baja di Jakarta untuk mengurangi biaya
logistik. Dalam jangka panjang, pemerintah dan swasta perlu meningkatkan
investasi produksi baja di wilayah yang memiliki pertumbuhan permintaan baja
seperti di Indonesia Timur
Dalam rangka menunjang pembangunan infrastruktur
sebagai bagian dari implementasi MP3EI, kenaikan harga bahan baku konstruksi
akan menjadi tantangan tersendiri di sektor konstruksi, terutama harga semen,
besi dan baja, serta aspal. Walaupun tren harga baja global menurun, namun
keterbatasan pasokan baja memberikan tekanan tersendiri bagi harga baja
domestik (Industry Update, 2013). Saat ini sektor yang menjadi konsumen
terbesar baja nasional adalah sektor konstruksi. Konsumsi di sektor ini
mencapai 78 persen dari total konsumsi baja nasional. Konsumsi baja suatu
negara merupakan salah satu indikator kemajuan negara. Jika tinggi suatu
peradaban atau kemajuan bangsa dapat dikaitkan dengan kemajuan ekonomi negara,
maka konsumsi baja dapat dipakai sebagai indikator (Warell-Olsson 2009; Walters
2012). Hal ini cukup logis mengingat material baja diperlukan pada berbagai
sektor industri sebagai bahan bakunya. Jadi negara yang banyak memakai baja
bisa dianggap tergolong maju perekonomiannya, sehingga kemungkinan besar juga
maju dari segi peradaban dan
budayanya. Oleh karena permintaan baja dianggap sebagai indikator kemajuan
perekonomian (Manulang, 2011). Konsumsi baja Indonesia saat ini berdasarkan
data dari World Steel Association (2013) mencapai 613 kg/kapita pada tahun
2012. Walaupun telah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya namun
nilai konsumsi ini masih relatif rendah jika dibandingkan dengan konsumsi baja
Korea Selatan 1.159,2 kg/kapita, Jepang 544,2 kg/kapita, Malaysia 353,8
kg/kapita dan Singapura 903,7 kg/kapita pada tahun yang sama. Penggunaan
produk-produk dari industri baja dapat dilihat dalam pembuatan kapal laut,
kereta api, mobil, dan beragam produk lainnya. Produk baja juga dipakai dalam
pengeboran minyak bumi, pembangunan jembatan, jalan, pabrik, perkantoran, serta
fasilitas-fasilitas umum lainnya. Indonesia Iron and Steel Industry Association
memperkirakan konsumsi baja di dalam negeri mencapai 15 juta ton hingga tahun
2015 seiring terealisasinya sejumlah proyek-proyek MP3EI. Beberapa proyek
pembangunan infrastruktur antara lain seperti di Koridor Sulawesi uang sedang
membangun Trans-Sulawesi serta Koridor Papua dan Kepulauan Maluku yang sedang
membangun pelabuhan laut, pembangunan bandara, pembangunan pabrik pengolahan
nikel dan lain-lain. Proyek-proyek tersebut tentunya membutuhkan pasokan baja
yang cukup agar berjalan dengan lancar dan tepat waktu. Gambaran umum peta
produksi baja nasional menunjukkan bahwa sentra produksi dari produk-produk
baja berada di pulau Jawa. Pada tahun 2009, 64% industri baja berada di Pulau
Jawa, 26% ada di Sumatera, 6,6% ada di Sulawesi dan 3,4% ada di Kalimantan.
Manurut Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) (2012), produsen baja
slab dan billet1 yang memiliki kapasitas produksi
besar hanya ada di Cilegon dan Surabaya. Sementara itu konsumen produk baja
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Potensi permintaan baja konstruksi
seiring dengan proyek-proyek MP3EI tentunya harus dipenuhi oleh produksi baja
dari pulau Jawa. Kelancaran distribusi dan logistik produk baja menjadi penting
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan baja tepat waktu dengan biaya yang
wajar dalam rangka mendukung pelaksanaan MP3EI.
Proses pendistribusian baja menggunakan moda kereta
api, truk, dan kapal laut. Pola distribusi umumnya memiliki kesamaan antar rute
distribusi. Pola distribusi berdasarkan pelaku untuk komoditi baja di Indonesia
relatif pendek dan secara umum terbagi dua: a. Distribusi diawali dari produsen
kemudian ke distributor atau langsung ke konsumen akhir seperti proyek-proyek
infrastruktur. Baja di distributor disalurkan kepada pengguna akhir yang
skalanya lebih kecil atau eceran. b. Baja jenis tertentu didistribusikan dari
produsen ke perusahaan pabrikan untuk diolah lebih lanjut. Baja diubah dan
dibentuk dipabrikan sesuai dengan permintaan konsumen.
Untuk daerah tujuan Balikpapan, rute distribusi
baja yang cukup efisien adalah yang berasal dari Jakarta dan Surabaya,
sementara yang indeks kinerja logistik kurang baik adalah yang berasal dari
Cilegon.
Untuk daerah tujuan Manado, rute distribusi baja
asal baik Jakarta, Cilegon maupun Surabaya sudah cukup efisien. Untuk daerah
tujuan Makassar, rute distribusi yang berasal dari Cilegon dan Jakarta memiliki
indeks kinerja logistik yang cukup baik. Sementara itu untuk rute
Surabaya-Makassar memiliki indeks kinerja logistik yang nilainya di bawah nilai
rata-rata, didorong oleh tingginya biaya distribusi per km.
Dari hasil perhitungan indeks kinerja logistik,
dapat diidentifikasi rute-rute yang kurang efisien adalah sebagai berikut: c.
Asal Cilegon: Cilegon-Jakarta, Cilegon-Makassar, Cilegon Surabaya, dan Cilegon
Balikpapan. Ketidakefisienan distribusi disebabkan karena adanya biaya double
handling dari truk ke kapal. Selain itu tingginya ketidakpastian dalam jadwal
keberangkatan kapal menyebabkan adanya tambahan biaya simpan di pelabuhan.
Berbeda dengan rute asal Cilegon lainnya, khusus untuk rute Cilegon-Manado
indeks cukup baik disebabkan karena Manado menjadi salah satu pangsa pasar
utama produk baja asal Cilegon, sehingga volume perdagangan cukup tinggi dan
dapat menekan biaya distribusi. d. Rute Jalur Sumatera: Medan-Padang,
Medan-Pekan Baru, dan Medan-Aceh. Hal ini disebabkan karena lemahnya kondisi
infrastruktur jalan, khususnya relatif sempitnya jalan serta kontur jalan yang
berbukit.
Biaya logistik ditentukan tidak semata-mata
berdasarkan jarak tempuh. Terdapat faktor lain yang menentukan tinggi rendahnya
biaya logistik, antara lain: banyaknya muatan, frekuensi pengiriman, kondisi
infrastruktur, serta tingkat kompetisi dari penyedia jasa logistik. Hal ini
ditunjukkan untuk kasus rute Surabaya-Makassar, dimana biaya distribusi/kg
adalah Rp 375 per kg atau masih lebih rendah dari biaya angkut rata-rata per-kg
mencapai Rp 440 per kg. Namun demikian, jika diperhitungkan jaraknya, terlihat
bahwa biaya/kg/km untuk rute SurabayaMakassar relatif tinggi.
Hambatan logistik atau bottleneck dalam distribusi
baja menunjukkan bahwa Infrastruktur merupakan kunci yang paling menghambat
dalam perkembangan usaha yang berkenaan dengan proses distribusi baja terutama
terkait dengan kualitas jalan
(60%) dan kepadatan lalu lintas (56%). Sementara untuk faktor lainnya kemanan barang
dalam perjalanan serta pasokan BBM untuk transportasi dinyatakan oleh lebih
dari 50% responden sebagai hambatan sedang sampai sangat besar dalam kegiatan
usaha.
Dari temuan-temuan di atas dapat disimpulkan
terdapat faktorfaktor yang mendorong ketidakefisienan suatu rute distribusi,
antara lain: e. Faktor kepadatan jalan serta adanya aturan pembatasan akses
truk di jalan tertentu (tol), sebagaimana yang terjadi untuk rute Cilegon-Jakarta. f. Kondisi
infrastruktur yang buruk serta kurang kondusif, seperti buruknya kondisi jalan
di sebagian jalur Sumatera dan Pantura, kontur jalan yang berbukit serta sempit
di jalur Sumatera serta Balikpapan. g. Produk baja merupakan produk unik yang
berbeda dengan produk lainnya, khususnya dari sisi nilai barang yang diangkut.
Oleh sebab itu, faktor keamanan menjadi sangat penting dalam proses
pengangkutan baja. Adanya biaya pengawalan dalam proses distribusi barang
menjadi komponen tambahan biaya distribusi baja.
Dalam upaya untuk mengurangi biaya logistik yang
menggunakan moda transportasi darat, maka perlu dilakukan: a. Pembangunan dan
perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur terutama akses jalan ke pelabuhan.
b. Perencanaan jalur transportasi barang dan manusia dengan mempertimbangkan
pertumbuhan penduduk dan ekonomi c.
Peningkatan ketertiban dan kesadaran pengguna sarana transportasi dan
infrastruktur terhadap aturan-aturan transportasi dan aturan lain seperti beban
muatan. d. Peninjauan kembali peraturan daerah untuk memperlancar arus
distribusi barang di wilayah tersebut. e. Meningkatkan penggunaan moda
transportasi kereta api dalam distribusi barang.
Perlu adanya pusat distribusi baja di Jakarta untuk
mengurangi biaya logistik baja asal Cilegon untuk tujuan pulau-pulau lain di
Indonesia yang terintegrasi antar moda transportasi truk, kereta api, dan
kapal.
Dalam jangka panjang, pemerintah bersama dengan
swasta perlu meningkatkan investasi produksi baja di wilayah yang memiliki
pertumbuhan permintaan baja seperti di wilayah timur Indonesia untuk menekan tingginya
biaya logistik