Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat
target utama pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada
pangan ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu
bangsa karena pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan
seperti terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak
harga beras, telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri
dengan swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan.
Indonesia saat ini masih sulit mencapai target
swasembada pangan 2014 karena produksi dan produktivitas tanaman pangan terus
menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global yang dilakukan
oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkan Indonesia di
posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia tersebut
berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hal tersebut
menunjukan bahwa dengan demikian, peran diversifikasi konsumsi pangan menjadi
penting sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan
konsumsi pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan
dapat dijadikan sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui
perbaikan gizi masyarakat.
Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi
dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk
dilakukan. Demikian pula analisis kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat
ini dan waktu mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada
pangan pokok juga sangat perlu dilakukan melalui serangkaian analisis, yang
mencakup: (1) Dinamika permintaan, penawaran dan kebijakan perdagangan tentang
komoditas pangan pokok di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain
di kawasan ASEAN; (2) Proyeksi perkembangan permintaan dan penawaran pangan
pokok dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Alternatif kebijakan
perdagangan yang diperlukan untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan
masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok
Tujuan dari kajian ini adalah menganalisis dinamika
pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia.
Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di
Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi
kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan
masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Berdasarkan hasil analisis dan FGD dapat
disimpulkan beberapa hal yaitu 1) Pangsa pengeluaran pangan masyarakat
Indonesia meningkat dari 52,42 persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada
2011 atau meningkat sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi
masyarakat masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi sehingga kualitas
konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi karbohidrat
masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian
rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya tergolong
besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. 2) Konsumsi
energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011
sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam Pola Pangan
Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus dikurangi, sebaliknya
konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan secara
signifikan. 3) Dilihat dari segi ketersedian energi pangan, di Indonesia
terjadi kesinambungan surplus energi pangan sejak 2005. Namun terdapat masalah
pada keseimbangannya, yang diindikasikan oleh persentase ketersedian energi
dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan Hewani terlalu rendah, (c)
Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan terlalu rendah. Apabila
ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi maka kelebihan energi
tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari
Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). 4) Upaya membangun diversifikasi
konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-an. Namun dalam
perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan pada usaha
untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi pangan
hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Program diversifikasi
konsumsi pangan juga dilakukan secara parsial, baik dalam konsep, target,
wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh.
Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi,
analisis trend dan hasil proyeksi, maka langkah-langkah kebijakan yang dapat
diambil adalah 1) Pengembangan produk (product development) yang diperankan
oleh industri pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk
pangan khas nusantara; 2) Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan
berbasis sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan
daerah, individu, kelompok masyarakat dan industri; 3) Pendidikan diversifikasi
konsumsi pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam,
bergizi, dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam
kurikulum di SD, SLTP dan SLTA); 4) Peningkatan kesadaran masyarakat untuk
tidak memproduksi, menyediakan, memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi pangan yang
tidak aman (mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor, dan
lain-lain); 5) Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu
diselaraskan, khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri
pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber
pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang pangan impor; 6)
Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka
pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber daya
lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk memproduksi
pangan lokal secara memadai.
Sedangkan untuk Kebijakan Perdagangan Luar
Negerinya yang feasible untuk dilakukan adalah Kebijakan perdagangan dalam
bentuk TBM (Tarif Bea Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun
tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu
bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas pangan
strstegis tersrbut di Indonesia masih tetap diperlukan. Sehubungan dengan itu,
Indonesia berkewajiban untuk menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan
anggota ASEAN dan ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan
TBM-nya ke negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM tersebut
adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita bagi
komoditas-komoditas yang konsumsi per kapitanya dinilai sudah berlebihan,
sekaligus mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan
daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai.
Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah
Kebijakan Pertanian dan Prasarana Umum melalui: 1) Pengembangan inovasi
teknologi secara terusmenerus sesuai dengan kondisi alam perdesaan,
sosial-budaya dan ekonomi petani, yang disertai dengan sistem penyuluhan yang
efektif untuk diseminasi teknologi tersebut kepada petani produsen, sehingga
produktivitas dan efisiensi proses produksi makin tinggi; 2) Percepatan
peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP)
untuk gula untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik
sekaligus mendorong perluasan areal tanam; 3) Perlambatan kenaikan harga
subsidi input, yaitu benih unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik
(Urea, ZA, SP36, NPK) untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih
baik; 4) Pembangunan dan perbaikan prasarana pertanian, utamanya jaringan
irigasi, jalan pertanian, jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP)
dan produktivitas dapat ditingkatkan; 5) Pencetakan sawah untuk padi, dan
pengadaan lahan untuk kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding
konversinya. Pemerintah Daerah harus mematuhi berbagai peraturan perundangan
yang berkaitan dengan kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian,
dan tidak sekadar mengejar PAD melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat
mengancam produksi pangan pokok, utamanya beras; 6) Pengendalian/pencegahan
pemotongan ternak sapi potong betina produktif untuk mencegah terjadinya
pengurasan populasi ternak sapi potong melalui pengawasan pemotongan di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk itu perlu
diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pemotongan sapi betina
produktif. Pemotongan harus mendapatkan izin Dinas Peternakan dan para pelaku
yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Perda terkait; 7)
Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari
lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya, jembatan dan
pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi pangan dalam
daerah dan antar daerah (aspek konektivitas).
Untuk kebijakan Kebijakan Demografi yang perlu
dilakukan adalah Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan
kembali program Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan
“Keluarga Kecil Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah penduduk.
Salah satu dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan jumlah penduduk
adalah memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan. Peran lembaga-lembaga yang
terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK, Posyandu, dan lain-lain),
lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan perlu mengajarkan dan menanamkan
pengertian tentang pentingnya melakukan KB.