KAJIAN
KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING
DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Makin beragamnya produk barang yang beredar di
pasaran baik produk lokal maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak
merugikan pihak konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas
mutu barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada
produk barang yang dihasilkan dan dipasarkan. Dalam kaitannya dengan
perdagangan internasional, maka produk pangan yang diperdagangkan harus
memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat
mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Dalam upaya peningkatan
ekspor, maka diharapkan produkproduk ekspor memiliki kesesuaian standar mutu
dengan standar yang ditetapkan negara tujuan. Namun demikian, ada beberapa
produk andalan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di negara tujuan
karena tidak memenuhi standar antara lain produk perikanan dan hortikultura. Di
sisi lain, produk-produk khas Indonesia seperti mebel rotan dan batik
memperoleh tantangan berupa banyaknya impor, padahal produk-produk ini
berpotensi besar untuk dikembangkan ekspornya. Dengan demikian perlu dikaji
mengenai kebutuhan standar seperti apakah yang terkait produk pangan dan non pangan
di pasar ekspor dan domestik. Selanjutnya, perlu diketahui apakah terdapat
kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh
pasar ekspor maupun domestik
Metode analisis yang dipakai dalam kajian ini
adalah analisis deskriptif yaitu analisis gap untuk melihat komponen dasar yang
diperlukan oleh suatu produk agar bisa memenuhi standar tertentu. Analisis gap
akan dilakukan untuk melihat komponen dasar yang seharusnya ada dalam standar
produk, apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar
internasional yang ada ataupun
persyaratan tertentu lainnya (national standard yang diberlakukan oleh mitra
dagang, juga kemungkinan adanya private standard). Untuk mengetahui respon para
pelaku usaha di Indonesia terkait bagaimana mereka bertindak bila produk yang
diekspor ditolak maupun dalam hal adanya gap antara SNI dengan standar yang
ada, maka dilakukan indepth interview dengan para pelaku usaha tersebut
mengenai hal-hal berikut: (1) Kepedulian (awareness), (2) Pengetahuan (knowledge),
(3) Implementasi (implementation), dan (4) Komitmen (commitment).
Dalam kondisi yang ideal, standar mutu harus
diterapkan mulai dari asal usul bahan baku, bahan baku, bahan setengah jadi,
proses pengolahan, sampai produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Namun,
kondisi dan kebutuhan masyarakat juga harus dipertimbangkan sebelum menerapkan
suatu standar menjadi standar yang berlaku wajib. Pertimbangan tersebut antara
lain kondisi perekonomian, faktor sosial, serta kemampuan produsen khususnya UKM.
Untuk produk pangan, pemenuhan standar sulit
dilakukan di sisi hulu. Bahan baku untuk produk perikanan dan hortikultura,
dalam hal ini ikan dan buahbuahan itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan.
Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya,
maka akan mempengaruhi kualitas dan mutunya secara umum. Begitu pula dengan
proses penanganan pasca panen. Keterampilan dan pengetahuan nelayan dan petani
yang tidak seragam membuat kualitas bahan baku sulit untuk dipenuhi sesuai standar
yang ada.
Untuk produk non pangan, kesulitan lebih banyak
ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk
memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi
sesuai kebutuhan dan selera pasar. Gap negatif SNI dengan standar mitra dagang
disebabkan antara lain : a. SNI umumnya hanya menggunakan standar internasional
sebagai acuan dasar dalam penyusunannya. Sementara, mitra dagang tidak hanya
mengadopsi standar internasional seperti CODEX, ISO, IEC, dan lain-lain namun juga mengadopsi
ketentuan dan parameter yang ada pada standar swasta (private standards) dan
standar lain. b. Kesulitan memenuhi standar mutu dan keamanan pada sisi hulu
untuk produk perikanan (tuna dan cakalang beku) dan hortikultura (manggis dan
jagung). Bahan baku untuk produk tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik
kualitasnya, maka akan mempengaruhi mutunya seperti ikan tuna yang tercemar
logam berat akibat cemaran limbah industri. Pada proses penanganan pasca
penangkapan atau pasca panen, ketrampilan dan pengetahuan nelayan dan petani
yang beragam/terbatas membuat kualitas bahan baku sulit untuk memenuhi SNI dan
atau standar negara mitra dagang. c. Kesulitan pemenuhan standar pada produk
non pangan (mebel rotan dan kemeja batik) lebih banyak ditemui di sisi hilir.
Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus
dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera
pasar. d. Kesulitan produk-produk usaha kecil menengah (UKM) dalam memenuhi
persyaratan mutu dan keamanan produk yang dipersyaratkan negara mitra dagang.
Kesulitan tersebut disebabkan oleh minimnya informasi yang diterima oleh UKM
mengenai standar mutu dan keamanan di negara tujuan ekspor, proses sertifikasi
standar produk ekspor menjadi beban biaya yang relatif besar bagi UKM, serta
terbatasnya sumber daya yang terampil dalam penanganan pra dan pasca panen.
Selain itu, keterbatasan insfrastruktur standar seperti alat uji di daerah
belum optimal dalam mendukung proses penerapan standar.
Belum semua pelaku ekspor menjadikan SNI sebagai
acuan atau panduan utama untuk standar mutu dan keamanan produk. Pelaku usaha
mengacu pada kriteria mutu dan keamanan yang disyaratkan oleh importir di
negara mitra dagang. Sebagian pelaku usaha juga menganggap bahwa SNI kurang
kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh mitra dagang
Mengusulkan kepada Badan Standardisasi Nasional
(BSN) untuk melakukan peninjauan, perubahan (amandemen) SNI khususnya produk
eskpor ke negara tujuan sesuai perkembangan dan perubahan selera konsumen dan
teknologi. Untuk mengatasi gap negatif antara SNI dengan standar mitra dagang
antara lain i. Di sisi hulu, perlu
memperbaiki kualitas sesuai permintaan, memperketat seleksi bahan baku sebelum
masuk pabrik dan perbaikan penanganan pasca panen. Sedangkan di sisi hilir,
perlu memberikan pelatihan dan studi banding, dll kepada pelaku usaha agar
meningkatkan kualitas produk ke pasaran. ii. Melakukan bridging the gap: untuk
UKM antara lain (i) memberikan kemudahan dalam proses sertifikasi, (ii)
sosialisasi pentingnya pemenuhan standar mutu untuk produk ekspor; (iii)
pembinaan teknis yang lebih luas terkait budidaya dan penanganan pasca panen
yang tepat untuk menjamin kualitas produk; sementara untuk lembaga terkait
seperti laboratorium uji, sertifikasi produk, dan teknologi pengujian dilakukan
dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, peningkatan teknologi,
kelengkapan infrastruktur dan kualitas pelayanan yang terkait dengan standar.
Mendorong perwakilan dagang RI di luar negeri,
untuk menjadi bagian solusi dari kasus-kasus penolakan produk ekspor Indonesia
antara lain melakukan mediasi, konsultasi, dan menyediakan informasi terkait perkembangan
standar dan selera pasar mitra dagang kepada para eksportir di Indonesia.
Edukasi tentang standar pada umumnya dan SNI pada khususnya kepada masyarakat
baik kepada produsen yang melakukan ekspor/eksportir, importir dan masyarakat
konsumen harus terus dilakukan. Peran serta aktif masyarakat khususnya dalam
mengawasi produk impor yang masuk (tidak memenuhi standar) harus ditingkatkan.