Kajian ini dilatar belakangi Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
90/MDAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan Pergudangan memiliki
kewenangan dalam pembinaan sarana perdagangan dimana salah satunya adalah
pergudangan. Pergudangan memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran
distribusi barang, maka diperlukan infromasi mengenai jasa pergudangan,
termasuk gambaran peluang dan ancaman suatu bisnis serta faktor peningkat
kinerja untuk memenangkan persaingan. Kajian ini bertujuan memberikan gambaran
bisnis jasa pergudangan di Indonesia, menganalisis faktor-faktor penentu
kinerja jasa pergudangan di Indonesia dan merumuskan kebijakan pengembangan
jasa pergudangan di Indonesia. Hasil dari kajian ini menunjukkan Jasa
Pergudangan di Indonesia dipersepsikan Strength-and-opportunity dominan (berada
pada kuadran I). Kinerja Jasa Pergudangan yang menjadi acuan adalah biaya,
sistem, dan penerapan SNI/lainnya. Sementara faktor yang mempengaruhi kinerja
jasa pergudangan antara lain: Kondisi Faktor (SDM, Knowledge Resource,
Infrastruktur), Kondisi Permintaan, Industri Terkait dan Pendukung (Industri
Hulu, Industri Hilir, Asosiasi/Pemerintah, dan Akademisi), dan Kebijakan
(Perpajakan, Upah, Investasi, dan Lainnya).
Analisis dalam kajian ini mencakup beberapa aspek, yaitu:
a. Jasa pergudangan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau perorangan dengan
melakukan pengelolaan dan penyimpanan barang, baik di gudang milik sendiri
maupun gudang milik pihak lain (mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014) b. Gudang selain pada kawasan berikat dan yang
melekat dengan usaha ritel/eceran, yang digunakan sebagai tempat penyimpanan
sementara barang dagangan eceran (Pasal 19 pada Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014) c. Kebijakan liberalisasi sektor jasa pergudangan
dengan tipe mode 3: commercial presence. d. Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah
terkait dengan jasa penyimpanan dan pergudangan di Indonesia
Berdasarkan hasil analisis, kesimpulan kajian adalah
sebagai berikut: a) Jasa Pergudangan di Indonesia dipersepsikan
Strength-andopportunity dominant (berada pada kuadran I). Untuk gudang komoditas
yang menyimpan bahan pangan (beras dan gula) dan pupuk, aktivitas pergudangan
seperti loading/unloading masih didominasi tenaga manusia, adopsi teknologi
pada proses administrasi, dan standard penyimpanan belum seragam, kecuali
perusahaan skala besar. Sedangkan pada gudang umum, loading/unloading umumnya
menggunakan tenaga mesin, adopsi teknologi pada storage, proses administrasi,
throughput, dan standard penyimpanan mengacu kepada principal. Selain itu,
jenis jasa yang ditawarkan selain pengelolaan gudang adalah transportasi dan
nilai tambah. b) Kinerja Jasa Pergudangan yang menjadi acuan adalah biaya,
sistem, dan penerapan SNI/lainnya. Sementara faktor yang mempengaruhi kinerja
jasa pergudangan antara lain: Kondisi Faktor (SDM, Knowledge Resource, Infrastruktur),
Kondisi Permintaan, Industri Terkait dan Pendukung (Industri Hulu, Industri
Hilir, Asosiasi/Pemerintah, dan Akademisi), dan Kebijakan (Perpajakan, Upah,
Investasi, dan Lainnya)
Sementara rekomendasi kebijakan pengembangan jasa
pergudangan di Indonesia berdasarkan analisis sintesa adalah sebagai berikut:a) Mendorong
fungsi pergudangan yang modern yang bukan hanya sebagai sarana penyimpanan
(storage), melainkan sebagai sarana penciptaan nilai tambah. Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan standardisasi gudang baik fisik maupun jasa
pendukungnya. b) Mendorong peraturan perdagangan produk/komoditas yang
komprehensif dan berbasis pada perspektif rantai pasok (supply chain). c)
Mendorong pengembangan pergudangan dengan tahapan: (i) pembangunan gudang
distribusi di daerah perbatasan; (ii) pembangunan pusat distribusi regional;
(iii) pembangunan pusat distribusi Propinsi; dan (iv) pembangunan pusat
logistik berikat. d) Mendorong skema Public Private Partnership (PPP) dengan
membagi peran antara pemerintah dan swasta. Hal tersebut dapat optimal jika
pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy yang menentukan arah
pengembangan sektor logistik (perdagangan, industri, dan investasi), sementara
pelaku usaha (swasta) fokus pada organic growth policy yang berorientasi pada
pengembangan daya saing perusahaan.