KAJIAN
PENGEMBANGAN INDIKATOR KINERJA LOGISTIK INDONESIA
Terjadinya disparitas harga antar daerah menjadi
salah satu indikasi masih adanya permasalahan logistik, baik itu dalam
distribusi antar pulau bahan pangan pokok maupun barang strategis. Permasalahan
timbul ketika tingkat disparitas harga antar daerah cenderung meningkat, karena
hal tersebut mengindikasikan bahwa mekanisme pasar tidak berjalan, sehingga
potensi konsumen surplusnya tidak dapat dinikmati dengan maksimal.
Kemungkinan terjadinya hal itu disebabkan adanya
faktor-faktor yang mendistorsi pasar, misalnya struktur pasar yang tidak
kompetitif, proses distribusi barang yang tidak kompetitif dan lain-lain. Pada
pasar yang stuktur pasarnya dan proses distribusinya kompetitif, seiring dengan
berjalannya waktu akan ada peralihan dari kondisi disparitas harga yang tinggi
menuju konvergensi harga pada selang harga yang wajar (penurunan disparitas
harga).
Dalam konteks Indonesia, konvergensi tersebut belum
terlihat paling tidak dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2009 - 2012,
perkembangan tingkat disparitas harga belum menunjukan pola penurunan
persisten, dimana pada tahun tertentu mengalami menurun, sedangkan pada tahun
yang lain mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penurunan
disparitas harga belum membuahkan hasil yang optimal.
Dalam menyikapi hal tersebut Kementerian
Perdagangan (2012) telah melakukan studi awal analisis mengenai biaya
distribusi beras di beberapa rute distribusi beras. Hasil dari studi awal
tersebut adalah: (i) Biaya shipping freight dan biaya pelabuhan memberikan
kontribusi terbesar dari total biaya distribusi; (ii) Besarnya biaya shipping
freight tidak berbanding lurus dengan jaraknya; (iii) Terdapat bottleneck
pengiriman barang antar pulau khususnya di Indonesia Bagian Timur; dan (iv)
Tingginya biaya distribusi antar pulau akan mempengaruhi harga akhir yang
diterima konsumen, khususnya pengiriman ke/dari wilayah Indonesia Timur.
Mengingat keterbatasan survei singkat tersebut,
maka perlu dilanjutkan kajian yang lebih mendalam dengan responden yang lebih
besar dan cakupan koridor yang lebih luas agar mendapatkan hasil yang lebih
akurat dan relevan. Sebagai bagian dari inisiatif ini, Kementerian Perdagangan
melanjutkan Kajian Kinerja Logistik Antar Pulau dengan fokus untuk menjawab
pertanyaan: Apa yang menjadi faktor determinan terjadinya bottleneck sistem
logistik antar pulau? Permasalahan penyebab tingginya biaya pengiriman antar
pulau, terutama untuk pengiriman barang ke Sorong antara lain adalah kualitas
infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang tidak memadai, frekuensi
keberangkatan kapal yang rendah, muatan angkutan balik yang kosong (empty
backhaul problem).
Kualitas infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang
tidak memadai berdampak pada kinerja pelabuhan yang rendah dan kepada tingginya
waktu tunggu kapal (vessel waiting time)
yang pada akhirnya menyebabkan tingginya biaya pengiriman barang antar pulau.
Frekuensi keberangkatan kapal yang rendah terutama untuk kapal yang ditujukan
ke Sorong atau Indonesia timur lainnya. Ada hubungan yang terbalik antara frekuensi
keberangkatan kapal dengan biaya pengiriman (sea freight costs). Dengan
frekuensi yang lebih besar, biaya pengiriman dapan lebih rendah dan sebaliknya.
Tentunya frekuensi yang lebih banyak dipengaruhi
oleh volume pengiriman barang (demand pengiriman barang). Secara umum, rute
dengan frekuensi yang tinggi memiliki harga yang daya saing lebih baik. Ini
terbukti dengan kasus Surabaya - Banjarmasin, Surabaya - Samarinda, Surabaya -
Belawan, Surabaya - Makassar dan Makassar - Surabaya. Tingginya volume perdagangan,
atau sejalan dengan prinsip ship follow the trade. Makassar dan Medan yang
memiliki volume perdagangan yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi
perjalanan untuk rute tersebut. Sebaliknya, kota dengan perekonomian yang lebih
lambat pertumbuhannya, seperti Sorong atau Ambon akan memiliki frekuensi
perjalanan yang rendah. Lokasi pelabuhan yang merupakan hub ports umumnya
memiliki frekuensi perjalanan lebih tinggi. Kota seperti Makassar merupakan
lokasi transit bagi perdagangan lainnya di daerah timur Indonesia, seperti
menuju wilayah Papua, Ambon dan sekitarnya, atau kota lainnya di pulau
Sulawesi; Banjarmasin merupakan hub bagi kota lainnya di Kalimantan melalui
jalur darat.
Oleh sebab itu tingginya potensi hinterland bagi
pelabuhan-pelabuhan hub tersebut mendorong tingginya frekuensi perjalanan
menuju kota-kota tersebut. Muatan angkutan balik yang kosong (empty backhaul
problem). Rute dengan biaya sea-freight mahal dengan tujuan Sorong, Ternate,
atau Bitung memiliki gap sea-freight tariff yang cukup besar untuk arus
baliknya. Hal ini disebabkan oleh adanya empty backhaul atau kosongnya muatan
pada arus balik. Perusahaan shipping umumnya akan menurunkan biaya angkut
hingga sangat rendah – hingga hanya 1/3 dari tarif inbound – saat mengangkut
barang pada rute arus balik tersebut. Dengan demikian, dapat diduga tingginya
biaya sea-freight ke kota tujuan Sorong, Ternate atau Bitung karena turut
memperhitungkan adanya potensi backhaul ini.
Adanya masalah backhaul juga turut berkontribusi
pada waktu loading/unloading yang lebih lama, sebagaimana yang terjadi di
pelabuhan Bitung. Proses loading/unloading yang seharusnya bisa dicapai 1 hari,
tapi secara efektif mencapai 2 hari. Hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan
masuknya muatan untuk diangkut dari Bitung. Faktor kepadatan lalu lintas
menjadi masalah utama hampir di semua lokasi.
Hal ini disebabkan lebar badan jalan kurang memadai
mengingat jalan juga dipakai oleh mobil pribadi. Untuk itu perlu 1. Pembangunan dan perbaikan sarana dan
prasarana infrastruktur terutama akses jalan ke pelabuhan. 2. Perencanaan jalur
transportasi baik barang dan manusia dengan mempertimbangan pertumbuhan
penduduk dan ekonomi. 3. Peningkatan ketertiban dan kesadaran pengguna sarana
transportasi dan infrastruktur terhadap aturan-aturan transportasi dan aturan
lain seperti beban muatan.
Dalam perdagangan antar pulau biaya sea freight
merupakan komponen terbesar. Salah satu yang menjadi faktor tingginya biaya sea
freight adalah kecilnya volume barang yang diangkut. Untuk kasus Sorong,
ketidakseimbangan volume barang antara inbound turut memperbesar biaya sea
freight. Selain itu, infrastruktur pelabuhan dapat mempengaruhi produktivitas
bongkar muat di pelabuhan yang berdampak pada lamanya waktu tunggu di pelabuhan
dan biayanya. Untuk itu perlu : 1. Pengembangan ekonomi sesuai dengan koridor
ekonomi yang dirancang dalam MP3EI segera diimplementasikan. 2. Menciptakan
iklim daya saing di industri pelayaran domestik dengan penambahan jumlah
operator. 3. Memperbaiki infrastruktur pelabuhan dengan meningkatkan investasi
di pelabuhan. Sebagai contoh melihat ulang daftar negatif investasi yang
terkait dengan investasi terminal operator pelabuhan. 4. Meningkatkan
produktivitas di pelabuhan terutama kinerja dari tenaga kerja bongkar muat. 5.
Mengevaluasi peraturan daerah khususnya yang melarang beroperasinya truk
kontainer di luar pelabuhan di kota Sorong. 6. Mengurangi kepadatan dan
dwelling time di Pelabuhan.