Kajian
Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan
Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan
kebutuhan konsumsi hewani. Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha
(KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin antara pelaku
usaha di rantai pasok ayam broiler yang menjadi dugaan awal terjadinya
persaingan usaha yang tidak sehat. Kajian ini bertujuan (a) menghitung biaya
pokok produksi peternak, (b) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja
industri ayam broiler serta (c) merumuskan usulan kebijakan yang mendorong
efisiensi industri ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat
mandiri. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah struktur biaya
produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Hasil analisis menunjukkan
secara umum struktur pasar ayam broiler pada masingmasing level pelaku usaha
lebih mengarah ke pasar oligopoli kecuali pedagang pengecer yang lebih mengarah
pada pasar monopolistik. Harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat
pedagang pengecer besar (grosir) tidak terintegrasi secara baik. Pembentukan
harga broiler hidup di tingkat produsen sangat ditentukan oleh kekuatan
oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui
penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan. Pada pasar broiler
hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara,
pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain
dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor
kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh
(signifikan). Rekomendasi dari kajian ini adalah perlu (a) melakukan perbaikan
struktur pasar agar lebih kompetitif; (b) menyeimbangkan sebaran margin
pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi sesuai biaya pemasaran
dan resiko yang dihadapi; (c) meningkatkan transmisi harga dari pedagang
pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan
akses informasi pasar secara transparan; dan (d) memperpendek rantai distribusi
Permasalahan
yang dihadapi oleh industri perunggasan, beberapa diantaranya adalah: (a)
Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian besar
bahan baku pakan ternak harus diimpor. Untuk impor jagung mencapai 12,5% dari
total produksi jagung nasional, bungkil kedelai sebesar 95%, tepung ikan
90-92%, serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir 100%; (b) Adanya
indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun
pasar output yang menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah; (c) Pola
Kemitraan usaha (contract farming) perunggasan belum berjalan secara optimal
dimana peternak plasma belum sepenuhnya diuntungkan; (d) Rentannya Industri
perunggasankomersial terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah
penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis finansial
global; dan (e) Pelaku usaha industri perunggasan dihadapkan pada kenaikan
harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan konsumen dihadapkan pada
fluktuasi harga broiler yang tinggi.
Dari konteks perdagangan, permasalahan persaingan usaha
ini dapat menimbulkan inefisiensi perdagangan yang tercermin dalam tingkat
harga yang kurang menguntungkan bagi peternak mandiri dan peternak plasma serta
tingkat harga eceran yang cenderung naik dan berfluktuatif di tingkat konsumen.
Hal ini telah berlangsung cukup lamadan diperlukan solusinya agar menghilangkan
kekhawatiran terciptanya ketidakpastian dalam iklim berusaha dan berdampak pada
semakin tergerusnya eksistensi peternak mandiri dan peternak plasma
Berdasarkan hasil analisis mengenai struktur pasar dalam
pemasaran ayam broiler, disimpulkan bahwa:
1.Struktur pasar yang dihadapi
peternak mandiri di Indonesia adalah struktur pasar yang bersifat oligopsoni
dimana harga lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang.
2.Struktur pasar yang dihadapi
pedagang pengumpul/pengepul (broker) dan pedagang besar pasar (grosir) di
Indonesia terhadap perusahaan skala besar (inti) adalah struktur pasar
oligopoli yang mengarah ke bentuk kartel.
3.Struktur pasar yang dihadapi
pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap
pedagang diatasnya cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi
Jawa Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna.
4.Struktur pasar yang dihadapi
peternak mandiri yang memasok untuk Super Market/Hypermarket atau Pasar
Swalayan di Kota-Kota Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni.
5.Tingkat persaingan usaha antar
pedagang pengepul dan antar pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler
tergantung pada musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan
tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasai pasar sepi persaingan
rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler tergolong tinggi.
Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga
sedang.
6.Tingkat persaingan usaha antar
pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota Besar di Indonesia dalam
perolehan broiler/dagingayam tergolong sedang hingga tinggi. Persaingan dalam menjual produk
daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang direfleksikan
tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer satu dengan lainnya.
Sementara itu persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah
hingga sedang.
7.Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan
harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin tiap
pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai berikut: a. Secara
umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam pemasaran ayam broiler
lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan kecuali bagi pedagang
besar/grosir dimana biaya per unit output lebih besar daripada keuntungan. Hal
ini merefleksikan cukup tingginya posisi tawar pedagang. b. Jika dibandingkan
antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka keuntungan terbesar yang diterima
oleh pelaku tataniaga secara berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang
pengumpul, dan pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik
yang menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit output oleh
masing-masing pelaku tataniaga. Berdasarkan pola margin (keuntungan) tiap
pelaku di semua wilayah survei, dapat disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler
tidak efisien kecuali di wilayah provinsi Jawa Timur
Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion,
diperoleh hasil bahwa:
1.Keterpaduan (integrasi) pasar yang
diindikasikan oleh harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang
besar (grosir) di Kota-Kota Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik.
Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat
ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yangmerupakan wadah
perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam penentuan strategi bersama,
diantaranya dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan pedagang
dalam menebus broiler di peternak mitra perusahaan tersebut.
2.Keterpaduan (integrasi) pasar yang
diindikasikan oleh harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan di
tingkat pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Besar di
Indonesia secara relatif lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke
pedagang grosir. Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa
Timur yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah sentra
produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging broiler dari
pedagang besar ke pedagang pengecer di Kota Surabaya disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler
sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b) Penetapan
harga Posko oleh asosiasi tidak selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c)
Informasi relatif lebih terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara
itu, di Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging ayam
tidak terintegrasi dengan baik.
Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen
(perusahaan skala besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan
oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar
melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan untuk
penebusan pedagang pengepul/broker dan pedagang besar (grosir). Pada pasar
broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil.
Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain
dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor
kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh
(signifikan). Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan
terintegrasidengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga
merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi Jawa Timur.
Rekomendasi
1.Perlu melakukan perbaikan struktur
pasar agar lebih kompetitif yakni dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk
masuk pada industri broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak
tegas pelaku usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak
sehat (oligopoli atau kartel). Perlu
adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan
kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi
oleh masing-masing pelaku dengan: (a) menerapkan regulasi tentang harga acuan;
(b) penataan pasar yang lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI
Pasar Rakyat; dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban
pedagang pengecer.
2.Meningkatkan transmisi harga dari
pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke perternak melalui
peningkatan akses informasi pasar secara transparan dengan menyediakan
fasilitas dan infrastruktur informasi harga secara online.
3.Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah
potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan melainkan juga
sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi akses langsung peternak ke
retail-retail modern (meat shop) di pusatpusat konsumen yang dikelola oleh
asosiasi peternak (misalnya Toko Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD)
maupun swasta; serta (c) membangun infrastruktur distribusi berupa cold
storage.